Alen Eliana

5 3 1
                                    

Keadaan kelas kacau. Orang-orang dengan rasa penasaran tinggi berlomba untuk membuktikan perkataan Keila. Ponsel yang dipegang siap untuk merekam kejadian apapun nanti yang ada di dalamnya. Tak peduli akan sekolah yang ditinggali. Mungkin suatu saat nama baik akan tercemari.

"Hey! Ini waktu pelajaran saya! Apa yang kalian lakukan hah?!" Pak Rei tak bisa menahan semua murid yang berlarian menuju kamar mandi, sebab tangannya hanya dua.

Dia kewalahan.

Aku diam di tempat. Melirik pada Arda yang sama sekali tak terusik pada suasana maupun berita yang ramai. Dia masih tetap berkutat pada pikiran kacaunya sembari menenggelamkan kepala dengan tas.

Disebelahnya lagi, Akaza. Dia sama, tak bergeming sama sekali. Menatap datar manusia-manusia yang heboh, haus akan sebuah insiden yang menarik. Tepatnya, tertarik pada aib orang lain.

Dan akhirnya, hanya kami bertiga yang diam dibangku tanpa mengangkat bokong meski setinggi 1 centi pun.

Keila dibawa ke UKS oleh ketua kelas. Padahal disini aku adalah anggota PMR, namun teman-temanku tak ada yang peduli sekedar menyerahkan Keila padaku atau memintaku menstabilkan kondisinya. Aku tak bisa bertindak jika mereka saja tidak mempercayaiku.

Karena memang selalu begitu, aku tidak dikenal sebagai apa-apa kecuali sebagai manusia dan gadis ambisius.

"Alen, nggak ikut?" baru aku sadari. Posisi Arda itu kepalanya dimiringkan kearahku. Tadi, wajahnya ditutupi oleh tas. Namun, sekarang tas itu sudah berada dalam pelukannya.

Aku menggeleng.

"Nggak tertarik?" Arda tersenyum.

"Padahal kayaknya ini menarik," lanjutnya.

Aku menatap aneh. "Lo sendiri?"

Arda mengangkat kepalanya yang tertidur. Ia menoleh ke sebelah kanan, dimana Akaza juga sedang menatapnya. Lalu tersenyum kepadaku seolah mengetahui suatu hal yang menyenangkan.

Kursinya dia geser ke samping kiri, agar lebih dekat denganku. Lalu, badannya dicondongkan. Tangannya membuat gestur padaku agar aku lebih mendekat.

Apa-apaan ini? Brengsek ini sedang bercanda kah?

"Sini, mau tahu sesuatu gak?"

Aku mendelik. Tak mengerti isi pikirannya. Beberapa menit yang lalu wajahnya muram, kosong, hampa. Dia seperti memikul kesalahan sebesar gunung yang tak bisa ia tanggung. Namun lihat orang sinting ini sekarang. Raut wajahnya berubah sepenuhnya. Bajingan ini bipolar atau apa hah?

"Enggak," aku memalingkan badanku dan kembali fokus pada buku kimia.

Arda tertawa. Entah aku harus memanggil dia apa. Sinting, bajingan, atau brengsek. Namun, nyatanya aku telah memanggil dia dengan semua itu.

Ia memukul-mukul meja pelan. Tawanya benar-benar menganggu telingaku. Sungguh, jika saja menghajarnya takkan membuatku masuk ke ruang bk, maka dengan senang hati aku akan lebih dari menghajarnya.

"Lo emang aneh. Siswi aneh yang baru gue temuin selama gue hidup," dia masih tertawa. Kali ini memegang perutnya.

"Za, raut wajahnya lucu njir." Arda menunjukku.

RUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang