Alen Eliana

1 3 21
                                    

"Jadi, selanjutnya apa?" Arda yang bertanya sembari asik memakan coklat mendapatkan pukulan keras ditangannya. Akaza yang melakukan itu.

"Kenapa kalian malah ikut bolos?!"

"Za, gue laper pengen keluar. Lagian males begete belajar kimia. Abis itu muncul fisika. Hadeuh yang bikin jadwal pelajaran punya dendam apa sih," Arda menggerutu. Mengunyah setengah coklat dari utuh sekaligus.

"Mulut lo bau asem nantinya. Banyak makan coklat gitu," ujar Candra menasehati.

"Gak papa, biar nanti lo ngomong depan gue, lo mati Dra."

"Goblok."

Pandu menghela nafas. "gimana Za? Rencana selanjutnya. Apa harus kita telepon orangtuanya?"

Akaza terlihat berpikir. Aku sendiri setuju jika harus menelepon orangtuanya. Lebih bagus, sekarang juga. Kenapa? Karena ini bukan masalah sepele, seperti demam dibawa ke rumah sakit. Ini melahirkan! Ada dua nyawa yang dibawa kesini. Jika tidak dalam pengetahuan orang dewasa, apa yang akan terjadi nanti? 

Sedalam apapun kami mengubur aib itu, orangtua akan tetap tahu. Perubahan yang terjadi pada anaknya, meski itu sekecil kejedot pintu.

"Jangan dulu, kasihan mereka. Orangtua bakal sedih, kecewa, sedangkan anaknya ngerasa takut, merasa bersalah." Akaza mengusap rambutnya ke belakang, lalu menyenderkan tubuhnya ke bangku.

Lihat bajunya, seperti zombie. Percikan darah dimana-mana. Seketika aku merasa iba.

"Dokter butuh orang dewasa untuk semua ini Za, kita gak akan diijinkan buat mewakili," ucap Candra.

"Biar Pak Geri--"

"Pak Geri lagi, Pak Geri lagi. Gery salut mah iya enak, tapi perasaan Pak Geri gak bisa dipaksain Za," potong Arda.

"Apa sih lu goblok--"

"Pak Geri itu asisten BAPAK lo! Udah mah disuruh bohong soal kegiatan bolos jamaah ini, terus sekarang disuruh bohong jadi walinya tu cewek. Gak enak Za, dia gak bisa disuruh bohong mulu, kasian nanti hidungnya nambah panjang!"

Semua menatap ke arahnya. Ada yang mengangguk paham, serius, ada juga yang menahan tawa. Pandu contohnya.

"Nasehatnya bener, cuma penyampaiannya kaya orang baru makan kecubung," perkataan Candra yang satu ini benar-benar membuatku tak bisa menahan tawa. Wajahnya memang serius mengatakan itu, tapi kalimatnya--diluar nalar.

Pandu ikut tertawa. Menambah suasana lucu karena tawanya yang khas. Seperti ada akhiran 'ngok' saat mengambil nafas untuk tertawa lagi.

"Berisik setan, ini rumah sakit!"

"Kecubung anjir, Arda lo pernah makan?" Pandu menepuk-nepuk perutnya.

"Pernah, waktu dulu. Keren banget gue, sampe bisa manjat pohon kelapa, tapi gak bisa turun lagi."

"Anjeng!" Candra tertawa terbahak-bahak. Memukul-mukul kursi rumah sakit dan memegang perutnya.

Aku keliru telah menganggap Arda tipe orang misterius, wibu, sok cool dan lainnya. Nyatanya dia orang yang lucu, ya meski mulutnya berbahasa binatang.

Aku tak cukup mengenalnya karena kami satu kelas saat menginjak kelas 12. Sistem di sekolahku begitu, setiap kenaikan, maka teman sekelas juga akan ditukar acak dengan kelas lain.

"Udah-udah, serius. Kembali ke topik," Akaza mengintruksi.

"Telepon ortunya kata gue mah. Yang setuju angkat tangan." Arda mengangkat satu tangannya.

Tanpa ragu, aku juga mengangkat tangan. Ini opsi terbaik tahu, karena bagaimanapun dia akan pulang ke rumah, menemui orangtua, dan ketahuan. Tidak ada namanya mengulur waktu dalam kasus ini.

Candra dan Pandu juga mengangkat tangannya.

"See? Telpon ortunya sekarang juga. Lo kalah suara Za." Candra merebut paksa ponsel Arda dari sakunya. Lalu menyerahkan itu pada Akaza yang dengan ragu menerimanya.

"Kenapa hape gua bangs-"

"Istighfar Arda, lu udah berbuat banyak dosa hari ini," ujar Candra seraya mengusap-usap dada Arda memberikan tutorial menahan kesabaran.

"Astaghfirullahaladzim ... Astaghfirullahaladzim..."

Setelah termangu menatap ponsel ditangannya, Akaza mengarahkan pandangannya pada Candra yang masih sibuk memberikan tutorial menahan sabar yang efektif dan efisien alanya.

"Emang Arda punya nomornya?" tanya Akaza yang pertanyaan itu sendiri hendak aku tanyakan tadi.

"Ya makanya!" dengan kasar Arda merebut ponsel itu.

"Kagak ada, saria teh bebengok! Emangnya gua siapa anjir bisa punya nomor ortunya. Asli, si Candra meni bodona kacida."

(*Asli, si Candra bodohnya kebangetan)

"Si cewek itu bawa hape gak?" tanya Pandu.

Semua menggeleng. Akaza dan Arda saja yang menolongnya tak tahu, apalagi aku yang benar-benar tak tahu apa-apa. Hanya kebetulan saja terseret disekumpulan orang-orang random ini.

Kami sibuk berpikir. Duduk merenung di jejeran kursi rumah sakit. Melamunkan apa saja masalah terberat hari ini. Bagaimana nasib perempuan itu, bayinya, serta apa reaksi orangtuanya.

Bagaimana jika guru tahu, semua warga sekolah pun sama, parahnya orang luar juga mengetahui ini. Akan sehancur apa reputasi sekolah?

Tunggu, apakah toilet itu sedang dibersihkan? Atau mungkin saja jika guru menganggap ini masalah sangat serius, sehingga mereka memanggil polisi untuk penyelidikan.

Tidak ada lagi nama bersih sekolah kalau begitu. Sekarang akan ada noda disana, ya kalau tidak mau paling suap menyuap solusinya. Aku tertawa dalam hati di bagian ini.

"Yaudah," ditengah kesibukan dalam lamunan, Akaza memecahkannya. Dia berdiri dari kursi. Menatap kami satu persatu.

"Gak ada jalan lain. Ayo, balik ke kelas. Urusan telepon orangtuanya serahin aja ke Pak Geri." Ia melirik Arda yang hendak membuka mulut.

"Enggak, Pak Geri gak akan disuruh bohong," katanya seolah tahu apa yang akan diprotes Arda.

"Tapi, kata gue mah kagok. Mending sekalian aja gak sih hari ini bolos?" pendapat Arda satu ini langsung mendapat kontra dari Candra.

"Bego, ya kita bakal dicurigai! Makanya Ar, udah gede gini mah gak usah nyoba-nyoba kecubung. Lu harus insaf, hidup itu--"

Arda menyumpal mulut Candra dengan plastik bekas coklat. Dia tersenyum puas melihatnya. "Untung plastiknya belum gua buang, lumayan buat sumpel lo Dra."

"Jadi, kita balik ke kelas? Akhirnya .. gue ketinggalan 2 pelajaran gara-gara ini." Pandu melakukan peregangan pada tubuhnya. Otot-ototnya pasti lelah, sama halnya dengan otak yang harus memutar pikir untuk menyelesaikan masalah perempuan itu.

Dipikir-pikir, kami ini kurang kerjaan ya? Menyelesaikan masalah oranglain secara sukarela.

"Nanti kalo dokter keluar terus gak ada siapa-siapa gima-"

"Ada kami," potong seorang pria berpakaian rapi. Kacamata yang mengkilat menyiratkan ketegasan disana. Aku tak tahu harus apa sekarang ketika melihat mereka.

Apakah rencana yang telah disusun ini, akan berantakan begitu saja?

"Pak--"

"Ya, jelaskan di kantor polisi."

°°°

RUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang