Candra & Pandu

0 2 0
                                    

Pantulan layar komputer di kacamata bulat Pandu menutup mata elangnya yang menatap serius komputer. Candra pusing sendiri melihatnya. Karena hal itu bukanlah keahliannya, maka lebih baik ia berkutat dengan pulpen dan buku catatan khusus miliknya. Menulis apapun yang menarik, terlintas di kepala.

"Pak Reikim bener-bener kutu buku. Hidupnya bersih banget kayaknya. Mungkin karena itu dia selalu perfeksionis?" Candra menyilangkan tangannya di dada sembari menatap coretannya di buku catatan khusus.

"Serius, dia gak mungkin macem-macem menurut gue." Pandu membenarkan sedikit letak kacamatanya.

"Tapi di dunia ini ada istilah diam-diam menghanyutkan, Ndu."

"Enggak, gue yakin ada salah paham. Kenapa kita gak langsung tanya aja sih sama tu cewek Dra?"

"Dari awal gue udah mikir itu, cuman kendalanya si Akaza. Si hati awan."

Pandu berbalik, menatap Candra yang juga menatapnya dengan senyuman miring. "Kita cuma perlu pergi tanpa sepengetahuannya ... kan Ndu? "

°°°

Bermodalkan data dari sekolah yang diretas oleh Pandu, mereka dapat menemukan alamat perempuan itu. Tanpa membuang waktu, si kuda besi segera melaju ke tujuan membawa rasa penasaran tinggi yang penuh kejanggalan.

Entah seluang apa waktu mereka sampai rela membuang-buang waktu hanya demi penasaran.

Menjadikan rumit pada diri sendiri, masalah dibesar-besarkan.

Pandu yang dibonceng oleh Candra menjadi pemandu jalan. Nyatanya, alamat berjarak lumayan jika dihitung dari sekolah.

Maka dari itu, sikap setan Candra keluar. Membawa motor seperti tak memiliki rem. Pandu terbiasa membawa motor pelan, membonceng Ayah dan Ibu atau adik. Namun, saat dibonceng oleh Candra adalah suatu malapetaka yang dimana mengucap dzikir sepanjang perjalanan itu harus.

Selain sering berbicara kasar, kesamaan antara Candra dan Arda adalah kebrutalan dalam membawa motor.

Jika sudah berada di jalanan, mereka bagaikan manusia yang lupa punya nyawa, terpenting sampai tujuan.

"Belok kagak?!" Candra berteriak dibalik helm. Suara bising kendaraan lain membuat suaranya teredam.

"Hah?!"

"Belok atau lurus?!"

"Gue kurus? Iya makasih!"

"Goblok!" kesal, Candra memarkirkan motornya di dekat warung pinggiran jalan.

Ia menepuk helm Pandu seraya berteriak. "Belok enggak?!"

"Enggak, lurus!"

"Bilang daritadi anjing, budeg." Motornya kembali ia nyalakan. Bahkan saat Pandu dalam keadaan belum siap pun, dia tak berperasaan. Asal menancap gasnya tanpa memperdulikan tubuh kurus Pandu yang terhuyung ke belakang. Jika saja dia tak menarik jaket Candra, maka innalilahi.

"Bawa motor tuh yang bener, nyawa gua cuma satu!"

"Jangan narik jaket gue!" satu tangan Candra menepis tangan Pandu, menyebabkan kemudi motor goyah. Refleks pandu memukul keras helm Candra sampai kepalanya tersentak ke arah kiri.

"Gua bilang bawa motor yang bener setan, babi, brengsek!"

°°°

"Ini rumahnya?" Pandu melihat kembali alamat dari data yang ia dapatkan. Memastikan bahwa itu sesuai.

"No. 31, ya berarti bener ini." Candra berjalan menghampiri gerbang. Mengetuk pagar besi dan berkata dengan suara yang sedikit lantang. "Permisi," ucapnya.

"Siapa ya?" seseorang menjawab di dalam sana. Terdengar kunci gerbang sedang berusaha dibuka. Suara khas kunci gerbang besi terbuka. Muncul satpam dari sana, bertubuh tegap dengan raut wajahnya yang ramah.

"Ada apa ya?" tanyanya menghampiri mereka.

"Ini bener rumahnya Bunga Pak?" Pandu bertanya balik.

Satpam itu mengangguk. "Iya, kenapa ya?"

Candra dan Pandu mengulurkan tangan untuk salam. "Kami temannya Pak, bisa tolong panggilkan?"

Satpam itu merasa tersanjung karena perilaku mereka yang tiba-tiba menyalaminya. Di jaman ini ternyata ada orang yang masih tahu arti kata sopan santun tanpa memandang status sosial. Terlebih ini anak pelajar. Mereka benar-benar memakai pendidikan yang selama ini ditempuh.

Satpam itu tersenyum semringah. "Mari masuk Nak, tunggu di dalam sembari saya panggil Non Bunga." Satpam itu mengarahkan mereka ke halaman depan rumah, teras. Dipersilakan duduk di bangku yang tersedia disana.

Lalu setelahnya memanggil seorang perempuan usia sekitar kepala empat yang kebetulan keluar dari rumah. Diduga itu seorang art. Satpam membisikkan sesuatu padanya, lalu art mengangguk dan pergi kembali ke dalam.

"Tunggu sebentar ya, lagi dipanggilkan. Tapi, saya harus kembali ke depan, gak papa saya tinggal?" ucap satpam itu ramah.

Candra mengangguk. "Gak papa Pak, silakan."

Satpam itu pergi. Kembali menjalankan tugasnya sebagai petugas keamanan yang dipercayai sang majikan.

"Dra, dia orang berada." Pandu menyenggol lengannya. "Kira-kira hamidunnya gara-gara apa ya? Dia pacarannya kebablasan kali."

"Makanya jangan pacaran, soalnya kebanyakan kebablasan itu sengaja."

"Gue gak pacaran, laku aja kagak."

"Lah jadi lo jualan selama ini Ndu? Di daerah mana? Tapi otak lo bagus, tetep kerja ya."

"Maksudnya kagak ada yang suka sama gue!"

"Gak usah adu nasib. Gue kesini cuma pengen denger nasibnya si Bunga."

Pandu mengelus dadanya pelan. Jika saja ini bukan berada di rumah orang lain, maka tangannya ini akan senantiasa melayang.

Art tadi keluar dari rumah. Dia tersenyum pada mereka seraya berkata, "Kata Non Bunga, masuk saja ke dalam. Soalnya keadaan Non Bunga lagi gak fit."

"Ke dalam?"

"Iya, di kamar Non Bunga."

"Kamar?!" Pandu berjengit. Matanya melotot.

"Oh, oke. Antar kami, Bu." ucap Candra enteng yang langsung masuk ke dalam mengikuti art. Tanpa memperdulikan Pandu yang masih mematung di lawang pintu.

°°°

RUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang