Alen Eliana

2 2 0
                                    

Malam ini sama seperti sebelumnya. Hujan deras yang mengguyur membuat suasana sunyi dari kebisingan lain. Hanya saja kali ini tak ada petir dan angin yang menyertai.

Amplop yang sudah kusut karena digenggam erat aku buka pada akhirnya. Membaca tiap kalimat disana dan berakhir penyesalan. Aku lipat kembali, dan dimasukannya ke dalam amplop.

Beralih menghadap kaca yang berjarak sekitar 1 meter di depanku. Kaca yang terdapat di lemari.

"Mah, ini surat dari guru." monologku sembari memberikan amplop pada angin. Ini bentuk latihan, agar apa yang akan aku katakan nanti tak terlalu membuatnya kecewa.

Aku menggeleng. "Jangan, jangan gitu. Ulang-ulang."

"Tadi di sekolah, aku tiba-tiba dapet ini mah. Tapi sebenarnya, aku gak salah kok!"

Aku menggeleng lagi.

"Mah, aku abis bantu temen. Tapi guru salah paham, dan ngasih ini."

Kepalaku menggeleng.

"Mah, aku tiba-tiba keseret masalah, padahal aku gak tahu apa-apa."

Akhirnya helaan nafas kasar keluar dari mulutku. Lagi-lagi menggeleng. Mengacak rambut dan memukul-mukul bantal guling. Apa yang harus aku katakan padanya?! Bingung!

"Ish! Udahlah! Gak usah gue kasihin aja!" kutenggelamkan kepala di selimut yang tebal.

Memejamkan mata menikmati kesunyian yang dingin ini. Ah, hari yang melelahkan. Bukankah aku banyak membuang energi hari ini? Lagipula kenapa harus sih aku mau ikut--

Ponselku bergetar. Aku sempat tak peduli karena paling itu penipu yang menelepon seperti minggu lalu. Emang kurang ajar. Namun, entah kenapa hatiku berkata jika telepon itu harus diangkat karena penting. Dengan malas, kusibakkan selimut yang menutupiku, mengambil ponsel dan melihat layarnya.

'Nomor tidak dikenal?'

Kuangkat telepon tersebut. "Halo?"

"Ya, Halo. Selamat malam, Alen. Ini bapak."

"Pak--Ery?"

'Dia wali kelasku!'

Beliau tertawa tipis diseberang sana. "Maaf ganggu malam-malam ya. Bapak dapat telepon dari pihak BK sekolah, katanya soal hukuman yang mereka berikan dicabut. Kamu bisa kembali bersekolah besok."

'hah?! Dicabut?!'

"Oh gitu ya Pak, Terimakasih infonya Pak," ucapku gugup. Aku tidak bisa basa-basi.

Pak Ery tertawa tipis lagi disana. "Sama-sama. Omong-omong, besok bisa ketemu bapak? Dimana ya ... Sehabis pulang sekolah saja. Oh-- jangan salah paham, bapak juga sudah ajak Akaza dan Arda."

Aku menghela nafas lega saat mendengar kalimat akhirnya. Sempat ingin mengumpat pedofil dalam hati, aku kembali menariknya.

"Baik Pak."

"Untuk tempat ketemunya nanti bapak kabari lagi."

"Iya Pak."

"Oke, bapak tutup teleponnya ya, wassalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Sambungan telepon terputus.

Apa ini? Dilihat dari perangai guru BK itu saja, beliau bukan tipe orang yang mudah dirayu. Wajahnya tegas, sama seperti perilakunya. Apa yang membuat hukuman kami tiba-tiba dicabut?

"Ada pihak berkuasa kah?" Aku tertawa kecil.

Apapun itu yang telah terjadi, menyebabkan hukuman ini dicabut, aku senang sekali. Amplop yang sudah kusut ini segera kusobek dan dibuang keluar jendela. Hati ini memang lega, tapi separuh.

Entah apa kekhawatiran yang ada separuhnya.

Omong-omong, untuk besok. Bukankah pertemuan diantara kami berempat akan terjadi pembahasan soal hukuman? Atau kasus melahirkan itu. Tak jauh darisana.

Aku melepaskan ikat rambutku dan meyimpannya dimeja. Lalu menyelimuti tubuh dan tidur dengan posisi miring.

Intinya, besok aku harus jujur. Apapun yang akan ditanyakan Pak Ery, aku harus menjawabnya dengan benar dan sesuai.

Saat hendak memejamkan mata, ponselku kembali berdering. Dengan malas kuambil itu dan lagi-lagi nomor tidak dikenal.

"Halo?"

"Besok sebelum ketemu Pak Ery, diem dulu di kelas."

°°°

Pelajaran terakhir selesai. Ditutup dengan tugas biologi yang akan dikumpulkan minggu depan. Semua murid bergegas pulang, menggandeng temannya untuk pulang bersama.

Aku telah memasukkan semua buku, juga merapikan tas. Setelahnya menoleh kearah kanan. Melihat Arda yang sibuk dengan ponselnya serta Akaza yang baru saja selesai merapikan buku-bukunya.

"Jadi, ada apa?" tanyaku langsung saja.

"Kata Pak Ery, kita ketemuan di Cafe Cashey, jauh anjir dari lokasi sekolah." Arda memperlihatkan roomchatnya dengan Pak Ery padaku dan Akaza bergantian.

"Padahal deket sekolah ada dua cafe, kenapa dia gak pilih kesitu aja ya?" Arda berargumen. Dia mengelus dagunya, laga berpikir.

"Sebenarnya itu patut dicurigai." Akaza berdiri dari duduknya dan berjalan ke kursi di depanku. Lalu duduk disana.

Aku menghela nafas. "Dasar curigaan. Kenapa selalu suudzon sih?"

"Itu bentuk waspada." jawab Akaza.

"Emangnya kenapa lagi? Kasus kemaren bukannya udah selesai? Kita gak kena hukuman juga. Kalian lagi mencurigai apa lagi hah? Jangan bilang mau nyeret gue." Aku menatap mereka sinis.

"Terlanjur, Candra sebut nama lo di rencana. Yah gimana lagi." Arda mengangkat bahunya sambil geleng-geleng.

Sontak mataku membulat. Tak percaya apa yang dikatakannya. Maksudku, memangnya mereka siapa berhak seenaknya merekrut orang dalam rencana? Arda, Akaza, hanyalah teman sekelas, tak ada hubungan lain. Apalagi Candra dan Pandu yang aku sendiri tak tahu mereka ada selama 2 tahun 3 bulan aku sekolah SMA.

"Maksu--"

"Yo guys, sorry telat. Abis ke tkp," Pandu tertawa setelah mengatakannya.

Mereka duduk dengan jarak yang berdekatan. Sehingga posisi kami saat ini membentuk lingkaran.

"Kalian bertiga mau ketemu Pak Ery ya? Dimana?" tanya Candra.

"Cashey Dra, bayangin," jawab Arda.

"Jauh amat, hati-hati kalian diculik. Sekarang marak penculikan."

"Si tolol, kolor lu yang diculik! Dia wali kelas kita!" Arda memekik tak terima.

Candra tersenyum miring sembari berkata pelan, "orang dewasa punya banyak cerita."

Dia mengalihkan pandangannya padaku. "Oh ya, sorry udah ganggu waktu lo Len."

Sambil tersenyum, ia mengulurkan tangan kanannya. "Ayo kerja sama."

°°°


"Karena kami selain memiliki hidung, juga mempunyai akal sehat."

-code byarvie-

RUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang