Semenjak kemarin Pandu menemukan sesuatu yang aneh dalam cctv, kasus tentang perempuan itu menjadi panjang. Soal urusan siapa ayah dari anak itu sebenarnya aku tidak peduli. Hanya saja, ini menyangkut seorang guru yang patut digugu dan dituru. Apanya yang harus ditiru?
Pak Reikim bukan orang asik yang ramah ke sana-sini. Beliau orang yang dingin dan sedikit tidak berperasaan. Seperti memberi tugas pada orang yang ijin, 2 kali lipatnya. Pada orang sakit yang dipaksa mengejar materi. Pada murid yang absen tanpa keterangan, mengosongkan nilai dan tugas dipersulit.
Sejak dirinya tertangkap kamera dan keluar dari toilet dengan gelagat panik, aku membandingkan raut wajahnya saat Keila, teman sekelas menjerit ketakutan soal darah toilet itu.
Memang, beliau sangat terlihat panik.
Siapa sangka, waktu itu aku hanya menganggap kepanikannya sebagai rasa khawatir pada siswinya. Bukan karena 'bersangkutan' dengan toilet tersebut.
Jika pada awalnya aku yang membuat rencana, maka kali ini Candra yang membuatnya. Dia sangat gencar sekali ingin menciduk dan mengorek informasi soal Pak Reikim.
Kami setuju saja mengikuti rencananya, hanya pada bagian dia menyebutkan nama Alen, aku menolak paling keras.
Dia gadis pendiam yang sedikit jutek. Tidak membaur, sekalinya bersama teman, tak lama kemudian sendiri lagi. Mungkin hobinya menyendiri.
Saat berbicara, matanya selalu menatap lawan bicara, tapi bibirnya kadang susah untuk berucap. Dia memang pintar, tapi tidak aktif.
Mungkin, untuk membawanya dalam rencana adalah hal buruk. Karena aku tak mau dia terkena masa
lah baru. Saat dimintai bantuan waktu itu, aku menyesal kala dirinya menatap sedih pada sepucuk amplop. Seharusnya aku tidak menyeret dia.Namun, bagaimana lagi. Candra akan menjamin semuanya, dia bilang. Jika iya kami akan mendapat masalah baru dengan titik terang belum ketemu, maka Alen akan dikeluarkan dalam rencana. Agar tidak melibatkan dia lebih lanjut.
Melihat wajahnya saat tahu bahwa Candra menyeretnya, aku tak tega.
Karena itu aku akan diam saat Candra menjelaskan semuanya. Aku tahu tugas apa yang akan kulakukan. Meski itu harus double.
°°°
"Menurut kalian, apa yang bakal dibahas Pak Ery?" Candra melirik kami satu persatu.
"Soal hukuman, hubungannya sama kejadian kemaren. Dia kan wali kelas, udah seharusnya merhatiin anak-anak kelas." Arda berujar sambil memainkan ponselnya.
"Oke, kalian pergi aja nanti temuin Pak Ery. Alen, lo kesana sama siapa? Lo gak tahu kan Cafe Cashey itu dimana?" perkataannya langsung membuat wajah Alen memerah. Memang mulut Candra itu kurang filtrasi.
"Emang gak tahu, tapi gue kan punya maps!" belanya pada diri sendiri.
"Bisa bacanya?"
Wajah bulatnya semakin merah seperti tomat masak. Candra selalu saja menyudutkan orang lain, tanpa berpikir perasaan. Sisi buruknya.
Aku menengahi. "Lo mau sama gue atau Arda?" tawarku. Memberikan pilihan seperti ini agar tidak menjadi olok-olokan mereka.
Dia tengah berpikir. Meremas roknya sampai basah karena keringat di telapak tangan. Mungkin cemas, merasa tak enak apalagi sebelumnya dia memang tidak dekat dengan kami.
Kepalanya hendak menggeleng, sebelum itu Arda segera memutuskan. "Udah lo sama gue aja. Lama banget mikir. Ayo, gue orangnya asik." Ajaknya sembari menarik tangan Alen.
Mereka jalan duluan, dengan Alen yang diajak paksa. Sebenarnya dia malu mungkin, gugup pula. Bagaimana lagi, Arda orangnya memang asik--sok asik maksudnya.
"Maen nyeret-nyeret anak orang, anjing," umpat Candra.
"Udahlah, yang penting dia lebih peka dari lo Za. Malah tanya mau sama siapa. Cewek tuh gak bisa dikasih pilihan, tapi kepastian!" kata Pandu.
Memang benar ini pilihan terbaik. Karena jika aku langsung memberikan pernyataan bahwa Alen akan pergi bersamaku, ejekan yang didengar akan lebih dari ini.
°°°
Secangkir kopi dengan asap yang mengepul tipis menjadi satu-satunya hal yang kuperhatikan. Saat melirik ke kanan, arah bawah, terlihat Alen yang sedang meremas jari-jari tangannya yang basah oleh keringat. Arda sendiri sedang asik menyeruput minuman yang telah di pesannya. Keadaan ini semakin canggung tanpa topik.
Namun, baru saja mulutku hendak mengucapkan sesuatu, Arda berbicara. Menyelamatkan kecanggungan. "Pak Ery gak lupa kan soal janjinya? Lama bet dah."
Aku menghela nafas. Menolehkan kepala ke arah luar. Cafe ini berdinding kaca, maka apapun diluar sana akan terlihat di dalam. Seperti halnya seseorang berambut klimis dengan kacamata berjalan terburu-buru mendekati Cafe.
Pintu dibuka, beliau melihatku dan segera duduk menghampiri sembari berusaha menstabilkan nafasnya yang terengah-engah. Membenarkan kacamata yang sedikit melorot, lalu berkata, "maaf ya, bapak telat. Ada urusan dulu tadi."
"Gak papa Pak, kami baru datang juga," ucapku bohong.
"Jadi, ada apa Pak?" tanya Arda tanpa basa-basi. Mengesampingkan kondisi Pak Ery yang mungkin masih kelelahan.
Pak Ery tertawa tipis. "Ah, pasti bapak telat lama ya." tatapnya padaku.
"Bapak pakai kendaraan umum, makanya sedikit lambat. Kepotong urusan mendadak juga." dia menyimpan kedua lengannya di meja dan menatap kami satu persatu.
"Alhamdulillah, kalian bebas dari hukuman. Saya banyak kena tegur soalnya," tawa canggung sama sekali tak membuat kami ikut tertawa. Malah menatapnya heran.
"Oke, jadi ... Gini. Kalian baik-baik aja kan?"
...
...
"Baik Pak," jawabku.
"Alhamdulillah," dia tersenyum.
Apa-apaan? Berniat menemui kami hanya menanyakan kabar? Beliau hari ini tak ada jadwal di kelasku, lantas mengajak bertemu di Cafe yang jauh, untuk menanyakan hal seperti ini?
"Pak? Jadi kita ketemu cuma tanya kabar?" Arda mulai menyampaikan protesnya.
"Memangnya tidak boleh ya kita sesekali bertemu? Bapak ngerasa seneng aja kalian bebas hukuman, makanya pengen ketemu. Siapa tahu kalian bisa konsul apapun sama saya, soal keluhan, atau kita rayakan--"
"Saya sering dapat hukuman. Makanan rutin selama sekolah. Sekarang, baru bapak perhatikan. Bapak bercanda?" Arda bersikap serius. Perilaku jenaka sudah tak terlihat dalam kondisi ini. Dia memang seperti Candra, tidak suka membuang waktu sia-sia.
"Maksudnya--kamu itu kan kasusnya tipe kenakalan wajar remaja. Tapi sekarang, kalian kena kasus yang cukup serius."
"Kami hanya membantu Pak. Sebenarnya yang menganggap kami memiliki kasus adalah orang yang sok bijak." Aku memanggil pelayan Cafe dan memesan secangkir kopi untuk Pak Ery.
Pak Ery menghela nafas. "Yasudah, maaf kalo bapak salah ucap. Bapak selalu bela kalian kok, tapi terpenting ... Jangan pernah ulangi."
Kami menatapnya dengan raut yang sulit dijelaskan. Berusaha menyelidiki sesuatu dari wali kelas yang murah senyum ini. Entah itu dari mimik, ataupun sekedar firasat yang berkecamuk. Semuanya samar dan abu, kami dilanda kebingungan.
Menurutnya, seserius apa peran kami dalam kasus perempuan itu? Kenapa sekolah seolah melebih-lebihkannya?
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
RUDE
Mystery / ThrillerKala itu, teman sekolahku meninggal. Bunuh diri akibat depresi. Tak mau memberi celah, masalah kembali datang di detik kemudian. Membuat murid bertanya-tanya apa yang terjadi saat ini? Reputasi sekolah memang penting, maka dari itu kebusukan akan d...