Gosip laki-laki

0 1 0
                                    

Puntung rokok, asbak, beberapa gelas kopi dan susu tersimpan acak di meja bundar. Hembusan angin malam bukan menjadi waktu healing untuk para pemuda yang aktif di malam hari. Bersuka ria mencari kesenangan di bawah langit yang gelap.

Akaza menyeruput segelas susu hangat yang tadi dibuatkan oleh art nya. Kemudian merenung, memikirkan kalimat-kalimat yang sedang memutar diotaknya. Berbagai informasi yang cukup menarik.

"Dibalik sosok tegasnya, dia takut sama hal kaya gitu? Kok gue jadi pengen ketawa kalo nanti ketemu sama dia." Arda menyulut rokoknya.

"Namanya juga manusia. Arda, lo emang gampang dapetin cewek, tapi kekurangan lo goblok," ucapan Candra membuat Pandu yang sedang meminum kopi tersedak karena tertawa.

"Jadi intinya, Pak Reikim masuk ke toilet itu bukan ada maksud jahat atau apa. Beliau cuma ngedenger suara rintihan, dan pas masuk, boom! Ada darah berceceran di lantai. Dia kaget, terus pergi dengan panik karena ngira itu sangkut paut sama sesuatu yang horror?" Akaza meringkas pembicaraan pada malam ini.

Pandu mengangguk. "Tadinya waktu ada suara seseorang masuk, katanya Bunga mau minta tolong. Pas denger Pak Reikim teriak, gak jadi deh."

"Kocak," Arda tertawa keras.

"Lo juga sama, waktu gue nemuin dia dan gue tinggal, lo takut Arda," perkataan Akaza langsung membuat Arda yang sedang asik tertawa menjadi diam perlahan.

"Akhirnya kelar! Gak ada yang perlu dipenasarin lagi kan? Wahai anak-anak kepo." Pandu meregangkan tubuhnya. Menghela nafas dalam-dalam dan dihembuskan. Setelah lelah terus-menerus membobol berbagai informasi, akhirnya ada waktu untuk kembali menonton list anime yang telah ia buat.

"Kagak sih, gua ogah mikir, pusing. And now is my time to party with girls." Arda menari kecil. Gembira untuk kembali pada kesenangan yang selalu dilakukan. Hura-hura tak berguna.

"Belajar, gak usah sok-sokan party," ucap Candra.

"Belajar itu kalo sehari besoknya mau ujian aja, biar langsung masuk. Sok rajin lo kampret," belanya pada diri sendiri.

Akaza menghembuskan nafasnya. Bersandar pada kursi sembari menatap hamparan bintang di langit yang bersinar.

"Kalian tahu nggak, waktu gue bonceng Alen ke Cafe, gue selalu nahan tawa waktu liat dia di kaca spion--"

"Jangan body shaming," Candra memperingati.

"Bukan gitu, lo kira gue ngetawain dalam hal apa dulu?! Dia lucu, makanya gue pengen ketawa," Arda mendelik sebal. Belum juga perkataannya selesai sudah dipotong.

"Gue bawa motor kebut-kebutan, dia tuh sebenernya takut mungkin ya. Pengen megang gue cuma gengsi. Mukanya lucu cok! Bulet, terus kehimpit helm," tawanya keras. Mengingat-ingat kembali bagaimana Alen yang risih karena rambutnya yang terbawa angin selalu menghalangi matanya.

"Ar, dibawa kebut tuh gak enak sumpah. Gue yang cowok aja gak berhenti dzikir waktu dibonceng Candra, apalagi Alen. Seharusnya dia dibonceng Akaza!"

"Mental tai lo, gitu doang," ucap Candra yang langsung mendapat toyoran dari Pandu.

"Tai lo bilang? Nyawa gua lo anggap apa? Kalo mau mati, ajak Arda. Kalian cocok boncengan. Mau bawa motor sampe full gas juga gak akan ada yang ngejerit."

Mereka tertawa mendengar keluhan dari lubuk hati yang paling dalam, digali lebih dalam lagi yang diutarakan Pandu. Cukup sudah dengan semua kegilaan mereka berdua jika membawa motor. Pandu lebih suka membawa motor pelan sambil menikmati semilir angin yang sejuk. Daripada kebut-kebutan tak berarti, rambut yang ditata rusak kemana-mana.

"Eh, ngomong-ngomong mulai sekarang hayu temenin Alen. Kasihan dia menyendiri mulu," ucap Arda setelah berhenti tertawa.

Pandu mengangguk. "Keliatannya dia orang asik, cuma malu-malu aja. Harus deket dulu gitu biar asik."

"Sok tahu, siapa lo? Cenayang?" Candra mematahkan tampang sok keren yang ditampilkan Pandu.

"Jangan meragukan insting gue, Dra. Macem-macem lo."

"Hayulah, temenin dia. Setuju? Za." Arda menyenggol lengan Akaza.

"Temenin atau target pacar kesekian kalinya? Hati-hati lo Ar, ngusik cewek pendiem kaya dia. Bisa-bisa lo yang dibuat potek." Candra meminum habis susunya yang tersisa setengah.

"Kagak, asli. Ngeliat Alen tuh bawaannya bukan pengen macarin, tapi pengen jadi temenan. Kalo kata cewek mah apa sih? Bestie, nah."

"Gue sih ayo aja, penasaran juga sama dia," ucap Candra sembari tersenyum mencurigakan. Membuat Akaza yang melihat itu menjadi sedikit tersentil. Hatinya seperti marah tak terima.

Candra sudah menyadari bahwa dirinya ditatap tajam oleh Akaza saat mengatakan kalimat tadi. Maka, ini adalah waktu yang pas untuk membuat sedikit guyonan pada si hati awan.

"Apa atuh Akaza, bercanda doang. Alennya gak akan gue apa-apain kok."

Mereka yang mendengar Candra untuk kali pertama membuat ledekan pada Akaza, tentu terkesima. Karena anak itu biasanya menjadi duta ngomong kasar bersama partnernya, Arda.

"Apa yang terjadi wahai anak-anak bangsa yang kurang asupan otak? Akaza kesemsem sama Alen?" Arda meniru gaya bicara Pandu.

"Enggak, sok tahu!" elaknya.

"Kalo bohong digigit nenek ompong," goda Pandu dengan menyanyikan lirik lagu anak-anak ini.

"Berisik! Gak ada bukti!"

"Ada lah! Tuh, muka lo merah. Awas, idungnya terbang! Candra, siapin parasut."

"Jangan, biar jatuh. Jatuh ke hati Alen, eaa..."

Mereka semua tertawa puas. Mengolok-olok Akaza itu sangat menyenangkan, karena dia takkan langsung beringsut ngamuk seperti Arda atau Candra. Andalannya jika sudah seperti ini hanya mengusap dada dan pura-pura tak mendengar.

"Kalo Arda .. jatuh ke hati siapa ya?"

"Hati Popy!" Pandu mengatakannya diselingi tawa.

"Siapa Popy?"

"Bencong lampu merah."

"Anjing! Pandu, setan! Sini lo!"

°°°

RUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang