Sebuah Kesalahan

766 151 32
                                    

Diri — Tulus




— Entah sudah ke berapa kali Johnny menetaskan air mata, diam-diam ia menangisi putri bungsu nya di area lobby rumah sakit. Apalagi ini sudah hampir genap seminggu, si bungsu di rawat karena asam lambung angkut.

Putrinya, tak pernah sakit sampai seperti ini. Maka dari itu, saat tiba - tiba gadis gembil itu harus di rawat dan hampir tak selamat; ia merasa gagal menjaga bungsunya.

Di tambah, fakta yang baru saja dia dapat. Jika Chanisa sering di bully oleh teman-temannya, hanya karena dia gendut dan di kata kurang cantik.

"My baby..." racau Johnny sebelum mengusap wajahnya, yang sudah basah air mata.

Dia bingung, harus bagaimana untuk menghibur putrinya.

Dari kemarin Chanisa enggan buka suara, siapa saja yang membully dan mengolok-olok nya. John ingin ada sanksi sosial, guna menimbulkan efek jera.

"John."

Johnny menolehkan kepala ke asal suara, sebelum buru-buru mengusap wajahnya yang merah karena terlalu lama menangis. Lalu setelah itu dia berusaha tersenyum, dan menyambut sang sahabat.

"Sorry Jeff, lo jadi liat gue nangis kaya gini." ucap Johnny sambil bediri lalu memberi pelukan sapaan untuk Jeff.

Di rasa Jeff mengerti kegetiran sang sahabat, dengan segera merangkul pundak John sambil di usap-usap menenangkan.

"It's okey, i feel you man."

Sedangkan Mark yang berada di situ, hanya menatap dua lelaki lebih tua dari nya berpelukan. Dia terlihat sangat khawatir, tetapi juga merasa tidak nyaman secara bersamaan.

Jari-jari Mark saling bertautan, dia sudah dengar rumor tentang Chanisa yang tak masuk sekolah karena sakit dan penyebab lainnya pembullyan.

Ia ingin cepat-cepat menemui Chanisa biar Mark tau, siapa saja yang berani membully sahabatnya.

"Om." Kata Mark membuka suara, membuat yang tua mengalihkan atensinya, "Mark boleh liat Chanisa?"

Johnny berpikir beberapa saat, lalu mengangguk mengiyakan. Tidak papa pikirnya toh Mark dan Chanisa adalah teman dari kecil.

"Makasih om." Ucap Mark sambil menundukkan kepalanya.

Sebelum berjalan buru-buru ingin memasuki kamar rawat inap gadis gembil itu, bahkan Mark masih memakai pakaian sekolah nya.

Karena dia merasa cemas dan ingin segera menemui gadis itu.

Cklek.

Kepala Mark mengintip dari balik pintu kamar, menatap sekeliling ruangan serba putih tersebut. Lalu setelah nya pandangan Mark terpaku pada, ranjang tengah ruangan yang di tempati oleh Chanisa.

Melangkah pelan-pelan masuk, dan di sambut oleh senyuman manis Mama Ten yang baru saja kembali dari kamar mandi.

"Eh Mark, mau liat Chanisa?" tanya Ten sambil mengelap tangan nya dengan handuk kering.

Mark menganggukan kepalanya dengan senyuman, "iya tante."

Sedangkan Chanisa yang mendengar nama Mark, buru-buru menutup diri nya dengan selimut. Ia amat sangat malas, apalagi berhubungan dengan Mark.

Pwretty Insecuriety. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang