03

38 0 0
                                    

Lorong disaat masih fajar adalah tempat yang paling mistis bagi Bagaskara. Hawa dingin menyeruak, angin sepoi membuat bulu kuduknya berdiri dengan mudah. Lebih baik di ke padepokan tengah malam daripada harus digiring ke sekolah di pagi buta. Menyesal sekali ia tidak membawa mantel kesayangannya.

"Sebenarnya aku mau dibawa kemana?" Bagas memecah keheningan dengan pertanyaan yang sebenarnya cukup menjadi basa-basi belaka. Karena jalan mereka menuju ke kampus berarti ini terkait dengan tugasnya sebagai murid berpangkat Nawasena, yaitu golongan siswa berbakat dan berprestasi di peringkat 1. Walaupun ia tak banyak aktif dalam kelas namun entah kenapa ia berhasil bertahan di orang-orang golongan jenius.

"Kenapa masih bertanya?, tentu kita ke ruangan kepala sekolah" langkah mereka bergema memasuki pintu Kaldhata yang merupakan pintu utama kedua. Pintu berukuran 4-5 meter itu terbuka lebar otomatis, mempersilahkan setiap siswa memasuki gedung kampus.

Mereka berbelok ke kanan dan berbelok lagi beberapa kali tak dilupa menaiki beberapa tangga panjang yang rasanya tak habis . Saking rumitnya desain bangunan ini sering kali siswa-siswa baru akan tersesat dengan cepat bila melamun. Butuh waktu mengenali setiap belokan dan tangga serta pintu yang ada di kastil tua tersebut. Abra menyebutnya labirin akhirat, kamu hanya akan mencapai svarga apabila mengikuti petunjuk dari Sang Hyang dengan benar disini, namun bila tidak, entah apa yang akan terjadi.

Sampailah mereka di sebuah lukisan bergambar kuda tanpa kepala, keringat telah membasahi punggung dan tengkuk kedua orang itu. Butuh kira-kira 2 jam untuk mencapai tempat ini. Bagas memeriksa jam sakunya yang menunjukkan pukul 07.16. Ia meringis melihat usahanya untuk menerima tugasnya saja butuh usaha ekstra.

"Setidaknya Martakanthi punya alasan bagus" ucap Arin sambil meregangkan badannya beberapa kali. Tentu saja itu hanya perwujudan kekesalannya yang biasa. Dan hal yang membuat Bagaskara menganggapnya menakutkan bagaimana dia tetap tersenyum saat melakukannya.

"Kamu tidak akan membukanya?"

"Tidak sabaran ya, kamu menantikan apa?"

Semua itu tidak diladeni oleh Bagas, ia hanya diam dan maju mengetuk lukisan tersebut tiga kali. Sebuah sulur emas berkilau merambat menyusuri lukisan tersebut membentuk lambang daun semanggi berdaun empat yang menjadi lambang perdamaian. Lukisan bergtar dan berderak bergeser membuka sebuah terowongan.

"Dimana tugasmu sebagai Niranthi?" ucapan serius dari Bagas membuat Arin hanya mengangkat kedua alisnya dan tergelak. Gadis berambut keperakan itu melompat-lompat memasuki lorong minim cahaya. Helaan nafas Bagas berhembus dalam lorong, bergema dalam langkah mereka.

"Akhirnya kalian datang, wahai murid-muridku!" Sapaan girang Empu sepuh alias kepala sekolah menyambut dalam kehangatan ruangan.

Seperti biasa Empu sepuh sedang duduk di kursinya dengan pakaian layaknya para raja yaitu pakaian khas jawa yang cukup tertutup. Wajahnya yang sudah menunjukkan usia cukup renta membuat aura kuatnya tersendiri. Rasa segan yang sudah tumbuh membuat kami dapat menunduk di hadapannya.

"Salam kepada Putri dari Laut Selatan, Raden Ayu Arindhita Naranthala, terimakasih telah menjalankan tugasmu dengan baik. Semoga Sang Hyang memberkatimu"

" Saya memberi hormat pada titisan Sang Hyang Antaboga, nuhun, Bendara Prabu Eyang Dewayasa, semoga angin laut selalu memberi anda keberuntungan. Saya izin pamit" Arindhita menunduk memberi salamnya yang ditanggapi dengan senyum halus kebapakkan. Empu sepuh mempersilahkannya keluar.

Setelah pintu dari batu yang konon katanya terbuat dari meteorit itu bergesek menutup, api sedikit berderak membuat keheningan pada akhirnya. Empu sepuh melemaskan wajahnya, Netra rentanya kini berubah sepuluh kali lebih muda.

BagaskaraWhere stories live. Discover now