Prolog

350 2 0
                                    

Suara kalbu membisikkan setiap keresahan batinnya. Para makhluk itu mengintai bahkan bila sorot matanya terbuka. Disekitarnya terasa menggelegak bahkan ia tak dapat merasakan waktu atau tempat dimana raganya saat ini berada. Batinnya mendesah, luka dari dunia bahkan bisa terasa bagai gelitik semata. Orang-orang merasakannya seperti membelah jiwa. Suara raungannya saat masih berumur satu tahun, suara ibundanya yang samar-samar membaur dengan gelegak air. Hawa panas mulai merambat, ia mulai gelisah. Setiap kenangan masa kecilnya terputar bagai rekaman film cepat, langkahnya terombang-ambing.

"TOLONG KAKANDA!" suaranya bergetar, tubuhnya terhentak ke ranjang.

"Bagaskara kamu tidak apa-apa?" pintu dari kayu mahoni itu berderit terbuka, seorang lelaki bertubuh jangkung mengrenyitkan wajahnya cemas. Dengan nafas yang menderu ia hanya mengangkat satu tangannya untuk memberikan respons bahwa dia baik baik saja.

"Aku ambilkan air sebentar" Lelaki jangkung itu dengan gesit mengambilkan air dan gelas perak dari kabinet di pojok ruangan. Dengan perlahan memberikannya pada Bagaskara yangkeadaannya masih tak terkendali.

"Minum dulu atuh mas Bagas" Bagaskara sedikit terkekeh mendengarnya, ia menerima gelas tersebut dan meneguk isinya tanpa sisa. Tubuhnya yang setengah telanjang telah berlumur keringat.

"Terimakasih Abra, kamu tidak kelas hari ini?" tanya Bagas yang berusaha mengatur nafasnya kembali.

Melihat Bagas yang nampaknya ingin mengalihkan topik, Abra sedikit menyipit dan nampaknya mulai menginvestigasi gelagat temannya.

"Jam pertama dan kedua sudah selesai. Kamu bolos kelas lagi? Memang ya yang disukai cuma pelajarannya Empu Gandring" ada sedikit celaan dalam nada bicaranya. Bagas hanya tersenyum dan kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang. Kepalanya terasa berdenyut dan dihantam. Bahkan hal ini sudah berlangsung selama seminggu. Perasaan bersalah dari masa lalu kembali menghantuinya, amarah yang terpendam kuat dalam hatinya. Sejujurnya semua itu membuatnya sulit bernafas.

"Tolong buatkan surat izinku hari ini, aku akan kembali ke kampus besok. Sepertinya aku meriang lagi" Ucap Bagas sembari mengambil sebuah bungkusan kecokelatan dari laci mejanya. Abra seketika menatapnya sinis, tangan kekar dan jari-jari panjang milik Bagas mulai membuka tali yang membungkus kain bungkus tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah bubuk putih sedikit kemerahan yang berbau agak masam. Tangannya bergerak luwes mencampur bubuk tersebut dan mengaduknya dengan air.

"Kamu kalau meriang harusnya minta tolong dirawatkan perawat. Kasihan mereka tidak kamu anggap" ucap Abra menepuk bahu temannya. Namun semua itu hanya masuk telinga kanan dan keluar di teinga kiri . Nyatanya ia hanya terkekeh menggapi kawannya.

"Cuman meriang, kamu berlebihan" dengusan khas milik Abra kembali muncul untuk kesekian kalinya. Itu sudah biasa bagi Bagas, yang setiap hari diomeli oleh ketua kelasnya tersebut.

Walaupun Bagaskara artinya adalah matahari namun menurutnya sendiri, ia bahkan terlalu redup untuk menjadi matahari itu sendiri. Berbeda dengan Abra yang sangat supel, ia nampak seperti serigala penyendiri.

Mereka bilang Bagaskara berada di tempat yang salah, memang benar asrama barong hanya digunakan bagi mereka yang pemberani dan periang namun apalah dia hanya tumbuhan putri malu.

"Yasudah kamu istirahat saja, kalau mau ibadah di bilik kecil saja. Daripada ke padepokan terus pingsan. Mana ada yang mau mengangkut kamu"

"Demi Sang hyang, kamu doakan aku yang kurang baik, awas kalau balik ke kamu sendiri" tatapan menusuk melayang lurus pada pemuda itu. Baginya hari ini merupakan suasana yang baik untuk sedikit mendapat ketenangan. Kepalanya masih berdenyut dan rasa mual berputar bagai sirkulasi tanpa henti.

"Sebaiknya kamu pakai dulu bajumu itu, nanti kubawakan makanan. Jangan keluar atau ku patahkan itu leher kau" ancaman Abra melayang tinggi, pintu kembali berderit dan tertutup. Bel pelajaran ketiga sudah berbunyi dan awan mendung mulai menutupi bersihnya langit. Awan itu kotor, bagi Bagaskara mirip seperti sukmanya. Kalaupun bisa waktu berputar kembali ia ingin membunuh dirinya sendiri.

"Bagaskara!" pintu itu terpelanting terbuka lagi, Abra dengan sempoyongan berusaha berdiri tegak pada pintu.

"Empu— empu Gandring telah tiada!"

Semuanya senyap, sunyi, berdenging tinggi. Pandangannya kabur tak terkendali. Semua laju di dunia ini seakan berhenti berbunyi. Bagaskara hanya mendengar denging, yang perlahan hanya menjadi gelegak air.

Semuanya hilang menjadi gelegak air semata.


BagaskaraWhere stories live. Discover now