04

18 0 0
                                    

"Arindhita, bangun!" nada kesal dari Sabina membuat Bagaskara hampir ingin memukulnya, namun karena harga dirinya dalam menghargai perempuan membuatnya mengurungkan niatnya.

Muak sekali rasanya terjebak dalam situasi magis.

"Sebaiknya kita melihat sekitar dahulu" ucapan Bagas hanya di tanggapi oleh kesunyian.

Ia tahu kalau Sabin yang biasanya galak hanyalah manusia. Ia juga bisa menangis dan merasakan takut.

Arin dan Sabin sudah bersahabat lebih dari satu tahun, tentu saja ini menjadi hal yang cukup lumrah. Bagaskara beranjak dari duduknya, meninggalkan temannya di kamar sederhana. Lantai kayu keemas an berkilat dalam cahaya lampu. Aroma kayu gaharu terus menggerayangi ruangan.

"Bagaskara" Sorotnya bergulir pada suara. Sosok Abra yang memakai blangkon dan baju beskap sederhana muncul layaknya bunga yang mekar.

" Kamu dapat sesuatu?" pertanyaan itu hanya ditanggapi gelengan kepala ringan, senyum kecewa hanya bisa di balas oleh Bagas.

"Tapi...ada juga yang menarik" Keduanya berpandangan kembali meraup kesunyian.

Malam itu cukup tenang, kunang-kunang berterbangan memberikan percikan cahaya. Lampion-lampion merah nampak memeriahkan suasana desa yang sunyi tak bercelah. Kedua pemuda itu memberikan langkah diatas rumput yang empuk.

"Kita mau kemana?" tanya Bagas membuntuti temannya

"Ke tempat yang cukup membuat bulu kudukmu bergetar" ucapannya enteng dan langkahnya ringan. Ia bahkan tak berpaling dari tempatnya.

Mereka sampai pada sebuah telaga, gelombang air seimbang dan gelap. Namun sinar bulan memberikan gradasi cahayanya menghasilkan telaga bagai kolam surgawi, atau portal ke dimensi lain.

"Swastana ingkang sepi, ngandharake panjenengan menawa isuk bakal dadi dina kang ala"

Abra terhenti, ia memandangi tratosfer langit yang menembus atmosfer langit. Memadukan gelapnya langit dengan cahaya penuh keindahan dari Sang Hyang.

"Nanging menika saged mboten di bayangaken nggih saged di tolak" Bagaskara melanjutkannya, berjalan ke sebelahnya memandangi air yang memantulkan netra mereka.

Ketika langit dan bumi menyatu, maka suatu gerbang akan terbuka. Alam gaib dan dunia sekalipun dapat bercampur. Ketika semuanya menjadi sejelas mata dan mata saja. Tepat pada detik terakhir, suara detakan jam bertalu-talu itu terhenti pada pukul 00.00.

Bagaskara mengatur nafasnya, pantulan air itu mengeruh dan memerah semerah darah. Abra tersenyum singkat menggandeng tangan sobatnya hingga semuanya berputar.

Mereka telah meragasukma, bulan telah semerah mawar yang mekar. Hawa dingin semakin menusuk tiap sendi dan tulang.

Mereka melihatnya, sebuah makhluk melayang diatas mereka, itu kelelawar namun dengan ukuran bagai rumah 60 lantai. Kaki-kakinya panjang menampakkan cakar seperti gading gajah hitam. Taring besarnya meneteskan liur penuh darah. Matanya menyorot merah menatap mereka berdua.

"Apa yang kamu lakukkan?" tanya Bagaskara

"Mengusiknya" Abra terkekeh, dengan sekuat tenaga berusaha menahan tawanya

Makhluk itu menyeruduk maju, tentu saja dengan sigap mereka berdua melompat dan menghindari serangan. Sebuah keris dikeluarkan Bagaskara, pemberian dari empunya.

"Kaltapati!" tali-tali cahaya terulur memberikan ikatan pada gerakan sayap makhluk itu

Bagaskara menguatkan genggaman tangannya, tak memberikan secuil pun kesempatan pada makhluk itu.

Abra mengangkat satu telapaknya terbuka, membuka gerbang lingkaran sihir penuh aksara acapala. Tali itu semakin melebar, menutupi seluruh tubuh makhluk itu. Raungan penuh kegilaan, memecahkan telinga mereka. Darah menguar dari telinga Abra, namun ia hanya menyeringai dan membesarkan lingkaran sihinya.

"Agaswaratama Kaltapati Karamantha" Ribuan anak panah penuh cahaya menghujani monster yang mulai membebaskan tubuhnya dari tali Kaltapati. Monster itu meraung-raung mengibaskan panah-panah itu. Tubuh keduanya tergoncang.

"Asthara Kalwatama" Sekarang Bagskara mengeluarkan lingkaran sihirnya, Cahaya ungu memancar, menusuk dan mancabik tubuh makhluk itu. Mengeluarkan darah kehijauan berbau busuk dalam makhluk itu.

"Asthara Kalwatama Anthakanti" Sebelum lingkaran Bagas pecah, tiga lingkaran terlempar mengikat tubuh makhluk yang kini menangis dan berteriak penuh luka. Perlahan kabut hitam menguar dari tubuhnya, Bau mayat dan darah membuat sensasi penyiksaan yang berlipat ganda.

Dan sedetik kemudian sebuah kilatan cahaya tertangkap oleh siluet mata Bagas.

"ABRA!" Kosentrasi mereka berdua pecah, makhluk itu terjun ke telaga, Air itu menghambur semuanya. Pelindung kaca Tlantaramanya pecah berkeping-keping. Sebuah belati menyayat pipi Abra, memberikan luka teralir darah segarnya.

Ia berusaha bertahan ditengah kabut dan lingkaran debu. Pandangannya mengabur, perasaan panik memekiknya.

"Bagas, Bagaskara!" Jantungnya berpacu, berkali-kali ia tersedak debu.

Bagaskara membuka matanya, ia menghindari sayap makhluk tadi dan terpelanting hingga tercebur dalam air. Ia berusaha menetralisasikan nafasnya. Perasaan hampa tiba-tiba menaunginya. Makhluk itu tenggelam, di depannya.

Dengan sigap ia mendekatinya, walau hanya bermodalkan cahaya bulan ia dapat berenang dengan lihai. Tubuhnya yang kekar menyeruak air.

Tangannya menyentuh kepala makhluk itu, memusatkan batinnya pada pikiran makhluk itu. Mereka terhubung dalam suatu ikatan komunikasi.

"Apa sing kuwi arepake saka aku?" Suara berat dan ringkih itu bergaung di pikirannya.

"Kuwi dadi dewa kanggo desa sing wis sesat iki. Ora arep ngaku?" Sentakan dingin itu dimengerti olehnya

"Iki hudu pangarepku, Gusti agung" Entah mengapa suasana disekitar menjadi lebih kelu. Ia tahu bahwa kesedihan makhluk itu mempengaruhi atmosfer disekitarnya juga.

"Sakjane aku mung roh biyasa, nanging wong-wong iku sing ndadekake aku duwe aura kaya makhluk ala. Pada gawa sesajen lan pangarep karo aku. Awakku ora bisa ngelawan, ana wong kapintere manungsa sing ngunteli aku Gusti agung" ucapan penuh tangis makhluk itu membuat Bagas iba.

"Tugasku kanggo mbiyantu desa iki, nanging aku ora nyepelekake korban ing kene. Kowe wis jujur kanggo atimu. Aku bakal ngeculaken dosa-dosamu" ucapan Bagaskara memberi kesunyian, air menghangat. Perasaan nyaman menyelimuti mereka.

"Jenengku Argapati, kula nduweni anak sing wis mati dadi bala karo manungsa-manungsa iku. Kula nyuwun patulung lan maturnuwun" Bagaskara mengeluarkan kerisnya, memberikan beberapa lingkara sihir pada tubuh Argapati. Ia berdoa pada Sang Hyang.

"Dosa-dosamu ku bersihkan dari kejujuranmu. Kamu tak bisa melawan dan aku tahu kamu menangis. Penderitaanmu akan kusingkirkan. Demi Sang Hyang dan keagungan Gusti raja dan ratu. Doaku menyertaimu" keris tertusuk dramatis mendeburkan ombak. Menghancurkan tubuh makhluk itu menjadi gumpalan kabut yang menarim tubuh Bagaskara naik ke daratan.

"Aku memberimu topeng pati dari kekuatanku, terbekatilah dirimu Gusti Pangeran" Bisikan itu menyentaknya, dan kegelapan hanya mengelilinginya. Bayangan Empu Gandring terlintas, ia tersenyum dan sebuah pelukan membekapnya.

Aku merindukannya.

BagaskaraWhere stories live. Discover now