Jari- jari panjang dan ramping milik Abra mengelus lembut surai Bagaskara. Sudah tiga hari ia pingsan di kamarnya. Cahaya Mentari membelah masuk celah teralis jendela.
Dentang lonceng gereja meneriakan doa-doanya. Abra terlalu khawatir, ia sudah menganggap Bagaskara segalanya, pelindungnya, penyelamatnya.
"Abra" ia terlonjak, melihat kearah pemuda di depannya yang terbaring pucat.
"Dimana Argapati?" raut cemas dikeluarkan Bagas dalam tubuh yang sudah hancur. Ia masih bertelanjang dada, namun hampir seluruhnya diperban.
"Ia telah terbang ke pelukan Sang Hyang, aku menelusurinya. Ia adalah salah satu korban ritual yang dijadikan dewa. Anak-anaknya juga diubah menjadi makhluk Kalotrang" ucapan itu membuat Bagas terdiam ia bangkit dan duduk pada ranjang.
"Ia sudah bebas, sekarang masalahnya pada ritual aneh yang di jalankan oleh orang pintar di desa ini. Menjadikan para tumbal sebagai dewa mereka"
"Arindhita telah kembali, tubuhnya lemah. Ia dijebak oleh dua genderuwo penjaga tempat itu. Ia menjumpai padepokan tua dengan aura iblis yang kuat. Mereka melaksanakan tarian pertumbalan. Memanggil iblis tingkat kedelapan, memberikan campuran bunga kamboja dan darahnya" Bagaskara mendengus ia menutup kedua telinganya dan berkerut kesal. Abra kembali duduk di sampingnya.
"Sejujurnya, Argapati membuatku teringat pada empu, aku sadar bahwa aku menyayanginya" ucapan itu terucap halus oleh Bagas. Kelabu sudah hatinya.
"Orang-orang itu menyakiti ibu tak bersalah yang ingin melindungi anaknya" Ia terdiam sejenak memandangi Abra " Bukankah menyakitkan?"
"Argapati meninggalkan sebuah topeng kepadamu, ia melindungimu sebagaimana kamu selalu menyelamatkan orang lain" Abra meninggalkan Bagaskara terdiam sendiri.
Bagas melihat kearah pahanya, sebuah bungkusan kain putih bersih tak bercacat. Tangan beruratnya membuka kain itu perlahan, sebulir air mata meluncur di pipinya. Topeng indah berwarna hitam dengan tanduk dari kuku Argapati. Sebuah untaian hiasan emas menghiasi satu tanduknya. Sebuah kain hitam tersampir dengan tulisan yang dikenalnya milik Abra.
Percayalah semua orang menyayangimu Bagaskara.
Aku memakamkan jiwanya di dekat telaga, kamu bisa mngunjunginya nanti.
Besok hal yang akan besar terjadi, aku akan mengorek informasi lebih. Kita dengan segera akan beraksi. Surat dari barat laut, asrama barong di serang hebat oleh badai. Sabina harus kembali ke asrama. Berdoalah pada Sang Hyang.
Bagaskara tertegun membaca surat itu. Ia menyandarkan punggunggnya pada ranjang. Menatapi kekosongan. Semuanya harus terus berlanjut. Waktu akan bergulir. Bahkan sosoknya yang membutuhkan cahaya orang lain masih terus hidup. Walau semuanya tak terlalu membutuhkannya. Tapi semuanya harus hidup.

YOU ARE READING
Bagaskara
Fiction Historique"Vayadhamma sankhara, appamedana sampadetha"' Atma yang melaung di tengah buana yang penuh angkara, bernafas diantara gulita menggumamkan sempena yang hampir hirap. Baskara yang adiwarna sedang berlayar di atas lakara nestapa. Disclaimer : Harshwo...