Chapter 10

1.8K 82 2
                                    

Seneng banget! Makasih untuk 3K pembaca cerita abal-abal ini. Makasih juga buat yang nge vote dan comment cerita ini. Dan untuk silent reader, segera tampakkanlah wujud kalian karna itu beneran bikin greget. Sekali lagi, Thank you so much!

Happy reading!:)

*ALINA KRISTINA GESSA*

Aku menyerngitkan dahiku saat melihat beberapa wartawan di berada di sini. Yap, aku dan Renanta sudah sampai di Bandar Udara Internasional Melbourne. Aku sedikit bingung kenapa banyak wartawan di sini, padahalkan Renanta hanya seorang CEO dan model. Seterkenal itukah dia?

"Ren, kok banyak wartawan sih?"

"Ga tau, Al. Aku juga ngiranya ga bakal ada wartawan di sini."

"Terus gimana?"

"Ya ga gimana-gimana. Ayo." Dia menggenggam tanganku lalu berjalan melewati wartawan-wartawan yang memfoto kami berdua. Mungkin lebih tepatnya mereka memfoto Renanta.

Wajah Renanta terlihat datar-datar saja saat kilatan-kilatan blitz kamera menyilaukan mataku. Dia sama sekali tidak tersenyum pada para wartawan itu. Aku menundukkan kepalaku, menghindar dari kilatan blitz yang menyilaukan mata. Renanta semakin mendekatkan tubuhku padanya, tangannya yang bebas membawakan koperku. Heran saja dia tidak membawa koper, dia hanya membawa tas yang lumayan besar di punggungnya. Pakaiannya saja sangat kasual, hanya kaos putih polos, celana jeans selutut, sepatu converse dan kacamata ray ban clubmaster. Sangat kasual tapi tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun.

Kilatan-kilatan blitz itu perlahan mengurang saat kami berdua masuk ke dalam taksi. Aku menghembuskan nafas lega setelah kilatan blitz itu menghilang. Renanta membuka kacamatanya lalu tersenyum padaku.

"Baru pertama kali ya?" Tanyanya.

"Iya. Ga enak banget pas blitz nya kena mata aku. Silau..." Aku merenggut sebal lalu menjatuhkan kepalaku di bahu lebarnya.

"Where we go, Mr?"

Setelah memberitahu alamat rumah nenekku, aku menjatuhkan kepalaku lagi di bahu Renanta yang nyaman lalu memejamkan mataku.

"Aku harus bilang apa pas ketemu sama orang tua kamu?" Tanyanya.

"Maksud kamu apa?" Kataku balik bertanya.

"Maksud aku, apa aku harus bilang kalo aku ini transgender? Apa aku harus bilang kalo diri aku ini adalah sahabat kamu dulu? Aku harus gimana?" Dari nada bicaranya, dia seperti sedang gelisah. Tanganku meraba tangannya, tangannya terkepal yang artinya dia sedang gugup.

"Jangan bilang kamu itu transgender. Jangan bilang kalo kamu itu Renanta sahabat aku dulu. Cukup bilang siapa kamu saat ini." Jelasku sambil mengusap tangannya yang mengepal.

"Tapi mereka bakal tau siapa aku sebenernya kan suatu saat nanti?"

"Masa depan ga akan ada yang tau, Georgio."

~~~

"Mam! I miss you so much!" Aku melepaskan genggaman tangan Renanta lalu langsung memeluk tubuh Ibuku dengan sangat erat saat pintu rumah terbuka.

"Oh my god. I miss you too, Darling. I miss you..." Airmataku menetes dengan perlahan, aku semakin mendekap tubuh Ibuku. Merasakan kehangatan yang sempat hilang selama beberapa bulan.

Ibuku melepaskan pelukan kami lalu mengusap airmataku, "How are you, Darling? I'm so sorry to leave you in Indonesia." Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Ibuku mencium dahiku dengan lembut, ah aku sangat merindukan kehangatan ini.

SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang