Chapter 11

1.3K 77 3
                                    

*GEORGIO HUGO*

Aku menggenggam tangan Alina, menuntunnya berjalan karna matanya sengaja ku tutup dengan sebuah kain. Angin malam berhembus agak kencang, aku yakin Alina pasti kedinginan karna dia memakai dress tanpa lengan dengan bawahan yang hanya menutupi setengah pahanya saja.

"Masih lama, George?" Tanyanya.

"Bentar lagi kok." Jawabku sambil mengelus telapak tangannya.

Aku berhenti berjalan. Aku melepaskan genggaman tanganku pada Alina lalu berdiri tepat di belakangnya. Perlahan aku melepaskan ikatan penutup mata yang ku pasangkan pada Alina. Aku terdiam, Alina terdiam. Hanya ada angin yang berhembus, menemani kami berdua. Aku memeluk perutnya dari belakang, meletakkan daguku di bahunya.

"Kok gelap, Ren?" Bisiknya pelan.

Aku tersenyum lalu menjentikkan jariku. Tiba-tiba lampu-lampu berwarna jingga menyala, menerangkan atap gedung ini dengan indah. Suara sexophone, biola, dan juga piano mengalun dengan perlahan. Aku tau Alina sangat menyukai alunan tiga alat musik itu. Semoga dia menyukainya.

Disini ada banyak meja yang kosong dan juga beberapa gazebo. Aku sengaja menyewa atap gedung ini, yang sebenernya juga sebuah tempat untuk makan. Lampu-lampu dari gedung pencakar langit lainnya memperindah suasana. Kurasa usahaku tidak sia-sia.

Tiba-tiba Alina berbalik menghadapku lalu memelukku dengan erat. Seketika hatiku terasa hangat, dinginnya angin malam sama sekali tidak mempengaruhiku karna pelukan Alina.

"Thank you so much. I love it." Bisiknya tanpa melepaskan pelukannya.

Aku mengangguk lalu mengecup sekilas lehernya, "Everything for you, Al. I love you."

Aku melepaskan pelukannya, menatap ke dalam mata indahnya. Aku tersenyum lalu mencium keningnya agak lama. Tidak ada yang lebih indah dari mencium kening seseorang yang kau cintai. Rasanya menakjubkan.

"Makan yuk." Aku mengajaknya menuju sebuah meja yang tak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku mempersilahkannya duduk terlebih dahulu lalu duduk di hadapannya. Aku terus tersenyum menatapnya, tanpa berniat untuk menghilangkan senyuman yang terukir di wajahku. Dia selalu menghindari tatapanku, entah karna apa. Yang penting, malam ini aku sangat bahagia!

Seorang pelayan membawakan sebotol Red wine lalu menuangkannya pada gelas. "Gapapa kan? Kadar alkoholnya ga banyak kok kalo wine." Dia menganggukkan kepalanya lalu meminum wine nya sedikit. Dia terlihat menyerngitkan dahinya.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Engga kenapa-napa. Aku baru ngerasain red wine, jad belum terbiasa."

Aku mengangguk-anggukan kepalaku, "Dingin ya, Al?"

"Iya. Anginnya dingin banget."

Aku melepaskan jasku, berjalan menghampiri Alina lalu memakaikan jasku pada Alina. Jasku terlihat sangat kebesaran di tubuh Alina yang agak mungil tapi tidak mengurangi kecantikan dan kemanisannya sedikitpun.

"Eh, nanti kamu kedinginan, Ren." Dia protes saat aku duduk di tempatku. Ah, dia masih selalu seperti itu.

"Aku bakal ngebiarin diri aku sendiri kedinginan daripada kamu yang merasakan kedinginan." Pipinya terlihat merona walaupun samar karna cahaya disini tidak terlalu terang.

Dia bertambah manis jika merona seperti itu.

Tak berapa lama kemudian, seorang pelayan menghidangkan makanan terbaik yang berada di hotel The Langham Melbourne ini. Aku tidak tau namanya, lagipula aku tidak tertarik untuk mengetahui apa nama makanan yang akan ku makan ini.

SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang