VII

159 20 0
                                    

- Secret Admirer

Jeremy gak habis pikir, begitu sambungan telfon di putus sepihak, dia cuma mematung. Diam. Ada yang salah sama keluarga Riki, batinnya.

Beberapa saat lalu, waktu dia coba hubungi keluarga Riki, kasih kabar terbaru tentang kondisi anggota keluarga mereka. Responnya bukan hal yang menyenangkan. Yang mengangkat telfon kakak laki-laki Riki, katanya,

'Urus aja gimana bagusnya, masalah biaya bisa langsung sebut nominal sekalian nomer rekening kamu, saya sibuk.'

Oh ayolah, sesibuk apapun orang pasti kan punya rasa khawatir walau cuma sedikit, apalagi Riki ini anggota keluarganya. Apa yang lebih penting dari keluarga? Dia jadi tak enak hati mau mendatangi Riki tanpa kabar dari keluarganya.

"Gausah repot-repot hubungi keluarga gue kak, mereka gak bakal dateng juga."

Dia belum masuk ruangan dengan benar, tapi Riki sudah lebih dulu berkata demikian. Agaknya dia lebih bisa membaca situasi. Jeremy gak berkata banyak dan lekas ambil tempat di samping ranjang Riki. Dia berinisiatif untuk mengupas beberapa apel yang disediakan.

"Lo bandel juga ya, udah tau punya sakit masih maksa ikut kemah, ngerepotin orang aja."

Riki cuma ketawa, karena memang dasarnya itu tujuannya, menjauhkan Jeremy dari organisasinya. Setelah berhasil menggiring opini orang-orang tentang Jeremy. Riki gak sabar mau lihat ekspresi Jeremy begitu teman-teman organisasinya menatapnya pakai sorot kebencian atas hal yang gak pernah dia lakukan.

Sejenak Riki hilang dalam lamunan. Kembali mempertanyakan tujuannya melakukan hal-hal semacam ini. Sebenarnya apa yang dia kejar? Jeremy? Orangnya tepat didepan mata. Kalau Riki mau, dia bisa bawa Jeremy kapanpun tanpa persetujuan empunya. Jadi apa? Perhatian Jeremy kah? Atau semuanya cuma akalnya saja mau balas dendam atas rasa sakit penolakan.

"Rik, gua tinggal bentar gapapa?"

Riki tersadar dari lamunan. Belum sempat dia mengiyakan, Jeremy lebih dulu bangkit dari kursinya. Usai berpesan untuk memakan apel yang dia kupas, Jeremy pamit dari kamar inapnya. Membuatnya bertanya-tanya, apa yang mau dikerjakan laki-laki itu?

Dia menatap pada dua buah apel yang sudah dikupas. Bersih. Bahkan dipotong dengan rapi. Riki berdecih. Oh ayolah, masa dia harus merasa tak enak setelah usahanya selama ini? Tujuannya kembali mendatangi hidup Jeremy untuk menghancurkan laki-laki itu, bukan semakin jatuh. Sejak awal pun Riki cuma punya perhatian untuk sang kakak kelas. Bukan salah Jeremy kalau bisa dengan mudah mendapatkan hatinya.

Mungkin kalau mereka tidak punya sejarah kelam, Riki akan dengan senang hati memakan apel yang dikupas Jeremy. Seandainya dia tak punya rasa sakit hati itu. Seandainya saja.

Tapi Riki mengesampingkan egonya. Dia raih sepotonh apel dan mengunyah dengan senyum merekah pada bibirnya.  Jadi begini ya rasanya dicintai itu?

***

"Gua bisa jalan sendiri kak."

Jeremy cuma mengangkat sebelah alisnya. Tapi genggaman tangannya tidak dilepas, Riki hampir mencium lantai kamar mandi kalau telat sedikit saja Jeremy datang, sekarang sudah denial.

"Lo ga makan?" Tanya Jeremy, melirik nampan jatah makan Riki masih utuh.

"Mulut gue pait kak, ga selera makan."

Jeremy menghela nafas, dia ambil piringnya, makanan itu sudah dingin.

"Lo mau makan apa?"

"Gausah repot, ambilin obat gue aja, biar bisa istirahat."

Omongan Riki gak digubris, Jeremy sudah lebih dulu keluar kamarnya, entah siapa yang ditelfon laki-laki itu.

"Tunggu bentar gapapa kan? Kebetulan bunda habis jenguk Shaka, biar sekalian bawa makan kesini."

"Shaka?"

"Iya, kasus keracunan dia lumayan parah, ternyata infeksi sampe saluran pencernaan."

Oh, Riki benar-benar merasa bersalah sekarang. Dia memang sudah keterlaluan kali itu.

"Gausah pasang muka begitu, Shaka emang kurang bagus imunnya, makanya ga sembarangan boleh dia makan. Mungkin dengan gini dia bisa kapok biar gak makan sembarangan."

Riki sama sekali gak berani membuka mulutnya. Ludahnya saja terasa kering sampai dia sulit menelan.

"Lo jangan telat makan, biar ga sakit. Rik ... gue tau gue salah, waktu itu emang salah banget, makasih udah ingetin gue lagi ya. Kalo lo mau, kita mulai dari awal."

Riki menatap uluran tangan dan Jeremy bergantian. Dalam hatinya sibuk beradu argumen. Bukan ini tujuannya, dia kembali buat menghancurkan hidup Jeremy. Bukan berdamai.

"Rik, mau pacaran?"

***

Long time no see temen, terima kasih udah bersabar nunggu update nya, gua akan lebih konsisten kedepannya

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang