V

507 71 3
                                    

— Secret Admirer

.

"Ayolah, gampang kok kak. Lo jadi pacar gue, Shaka aman."

Jeremy tersadar dari lamunan setelah Shaka menepuk bahunya, "Kenapa? Banyak pikiran banget kayaknya."

Tak lekas menjawab, Jeremy jutsru meraih tangan dengan selang infus. Menggenggam erat. Menimbulkan tanda tanya besar di kepala Shaka.

"Maafin gue."

Arshaka tertawa kecil, "Lo udah ngomong gitu lebih dari sepuluh kali hari ini. Kan udah dibilang bukan salah lo. Gue aja yang kurang hati-hati makan." Menepuk kepala Jeremy beberapa kali.

Meski jauh didalam hatinya merasa ada yang janggal. Shaka punya kebiasaan untuk pilih-pilih dalam hal makanan. Baru sekali ini dirinya lalai hingga masuk rumah sakit hanya karena tubuhnya tidak bisa diisi makanan.

Kasus keracunan Shaka bisa dibilang cukup parah karena cowok itu sampai tidak bisa menelan apapun. Dan terpaksa harus dirawat sebab tubuhnya tidak memiliki energi, kondisi Shaka saat itu sangat pucat.

Tanpa tahu, keadaannya sekarang memang sudah direncanakan seseorang.

Keduanya sama-sama terdiam, hanya suara televisi yang mengisi kekosongan ruang rawat Shaka. Jeremy sendiri masih dalam posisinya, menggenggam erat tangan Shaka, raganya disini, namun jiwanya jauh melayang pada kejadian beberapa waktu silam. Ia kemudian berdecih.

"Pacar katanya." Lirihnya, sebelah bibirnya terangkat, tersenyum miring.

Beruntung Shaka tak menyadari. Jeremy pun berharap sahabatnya tak ikut tertarik dalam masalah yang sedang dia hadapi.

"Lo bukannya besok ikutan kemah ya? Gak siap-siap?"

"Nanti aja lah, males. Nanti lo sendirian gue tinggal nangis."

CTAK!

Jeremy tertawa meski dahinya baru mendapatkan jitakan sayang. Menggoda Shaka sudah jadi hobinya sejak dulu.

"Sana balik lo." Usir Shaka, melepas tangannya yang di genggam oleh Jeremy. Berlagak seolah dirinya tengah marah.

"Yaudah," Jeremy bangkit dari duduknya, hari juga sudah mulai gelap. Setidaknya dia masih punya rumah meski enggan meninggalkan Shaka sendiri. "Gue pulang, hati-hati lo disini."

"JEREMY ANJING!"

Si pemilik nama tertawa hingga ambang pintu setelah berhasil mencuri sebuah kecupan pada pipi Shaka. Sedetik kemudian senyum cerah Jeremy berganti menjadi senyum kecut.

"Wish you were mine."

***

Pagi-pagi sekali Jeremy sudah menggedong tasnya, berpakaian rapi dengan seragam Pramuka. Rambutnya ditata keatas membawa kesan rapi serta maskulin.

Tidak sedikit siswa-siswi yang memuji penampilannya pagi ini. Ditambah Jeremy yang bertugas untuk mengabsen peserta kemah harus bertahan diantara gombalan yang dilayangkan adik kelasnya.

Riki berdecak kagum diantara para murid. Matanya tak lepas dari sosok sang kakak kelas yang berdiri jauh didepan barisannya.

"Itu mata awas copot." Hidan mendapat delikan tajam, cowok itu tengah berkeliling mengabsen tiap kelas dan mendapati Riki tengah menatap Jeremy hampir tak berkedip.

"Oh ya bang, anak OSIS bis nya sendiri?"

"Kaga, tiap bis ada dua pendamping," jawab Hidan dengan santai, matanya masih fokus mencoret kertas yang dibawanya. Dan kemudian sadar bahwa dirinya akan direpotkan lagi oleh adik Mahesa itu.

Setelah basa-basi dari kepala sekolah, para murid diarahkan untuk memasukkan bis sesuai dengan kelasnya masing-masing.

Mengusap hidungnya yang ditempeli plester luka, Riki tak berhenti bersin sejak bis sudah jauh dari area kota. Udara dingin menusuk meski sudah mengenakan dua lapis jaket. Mengundang salah seorang OSIS yang menjadi pendamping kelompoknya untuk memeriksa keadaan Riki.

"Sakit dek?" Wajah Jeremy yang semula penuh rasa khawatir berubah datar. Kenapa harus bocah ini lagi, batinnya.

"Dia alergi dingin kak." Sahut salah satu temannya. Jeremy mengangguk, mengisyaratkan Riki untuk mengikutinya. Duduk di kursi paling belakang yang memang dikosongkan untuk duduk OSIS serta guru pembimbing. Entah disebut beruntung atau sial karena kebetulan sekali bis yang mereka tumpangi guru pembimbingnya berhalangan untuk hadir.

Duduk saling berhadapan membuat Riki lebih leluasa memandangi sosok yang amat dia kagumi itu. Hidung mancung serta bibir tipis juga sepasang mata bulat yang tak pernah lelah melayang tatapan sinis padanya benar-benar sebuah pahatan yang sempurna.

Riki menahan nafasnya ketika Jeremy mendekat, mengolesi memar pada sudut bibirnya dengan alkohol. "Anggep aja gue minta maaf buat kemarin." Pagi ini Jeremy mendapati Riki dengan luka yang tak diobati dengan benar memunculkan rasa bersalah. Meski terlihat ogah-ogahan Riki senang karena Jeremy memperhatikan dirinya.

Usai dengan luka pada wajahnya, Jeremy melilitkan sebuah syal rajut pada lehernya. Harusnya itu dia gunakan untuk nanti malam. Tapi ada yang lebih membutuhkan, biarlah dia bisa mencari alternatif lain nanti.

Duk!

Bis tiba-tiba berhenti membuatnya tersungkur hingga hidungnya menabrak dada Riki. Betapa malunya. Jeremy berdehem canggung, berusaha bersikap seolah tak terjadi apapun. Sementara telinganya sudah kepalang merah saking malu. Yang tak luput dari penglihatan Riki. Cowok yang lebih muda menarik Jeremy lebih dekat, mendekap tubuh yang lebih kecil.

Hembusan nafas Riki terdengar jelas sebab cowok itu menumpu dagu pada bahu Jeremy. "Dingin kak.." niatnya hendak mendorong kembali tubuh Riki dia urungkan, beralih mengusap lembut punggungnya.

Jeremy heran, jika tidak tahan dingin kenapa Riki memaksakan untuk ikut acara kemah? Harusnya dia memperhatikannya kemarin, kasihan juga kalau begini, merepotkan juga. Itu artinya Jeremy akan terus mengawasi Riki serta kelompoknya. Tugasnya makin banyak saja.

"Tahun depan kaga nyalon lagi gue." Ucapnya diselingi senyum kecut.
























– Secret Admirer

– Secret Admirer

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







Btw,


Kali aja ada yang numpang sunwon, ekhem
Udah update sebulan sekali, pendek, malah promosi book lain, apakah ada akhlak diriku ini? Ok sekian, tolong ditunggu chap selanjutnya penuh dengan uwu ;)

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang