Selasar

9 1 0
                                    

Aku bukanlah tipikal manusia yang mudah berbagi kisah dengan temannya kala sedang dimabuk asmara, curahan hatiku sekadar mengagumi lalu mengadu kepada langit dan pencipta-Nya.

Lagipula, untuk apa aku cerita? Karena mereka pun tahu, kalau sekadar kagum memang mudah bagiku. Namun bila aku jatuh cinta? Ah... Sukar rasanya.

Pagi tadi, aku menyusuri selasar sekolah seorang diri. Tenang, sunyi dan sepi bagai bangunan lama tanpa penghuni. Aku sengaja datang sepagi ini dengan harapan bisa lebih dulu mengambil udara bersih sebanyak mungkin dibanding siswa lainnya.

Selama kakiku melangkah, aku merasakan ada suara yang mengiringi pula. Namun beda jenisnya, yang satu ini adalah pantulan bola basket dari tengah lapangan. Iramanya persis sekali dengan langkahku menuju kelas.

Aku bertanya dalam diri,

   "Oh? Ada manusia yang hadir lebih pagi dariku?"

Tak mungkin rasanya.

Lantas aku berhenti sejenak, mencuri pandang sedikit agar dapat menjawab rasa penasaranku.

Begitu menatapnya, tubuhku bergetar hebat, degup jantungku berdetak cepat.

   Semudah itu aku jatuh cinta?

   Biasanya aku hanya kagum,

   mengapa kali ini rasanya berbeda?

Entah aku yang terlalu lama memandang pesonanya, siswa di tengah lapang itu dengan sigap menatapku. Seakan-akan tahu bahwa ada orang yang sedang mengintimidasi dirinya.

Aku bergegas menuju kelas, untungnya aku hanya perlu mengambil beberapa langkah saja. Kemudian aku menutup pintu kelas dan berbaring lemas sementara waktu tepat di bawah papan tulis yang menggantung di depan kelas.

Aku menatap langit ruangan putih ini. Sejenak, aku memejamkan mata...

   Tuhan, apakah hamba punya kesempatan lagi untuk bertemu dengan orang tadi?

Aku menunggu beberapa menit... memastikan dapat bisikan sebagai jawaban dari-Nya, namun nihil.

Bel istirahat telah berbunyi. Kali ini aku terpisah dari rombongan sahabatku karena aku harus menuju ke perpustakaan terlebih dahulu, untuk ke kantin? Aku menyusul.

Masih dengan selasar yang sama, aku memantapkan langkah hingga aku sontak terhenti begitu mendengar suara yang sama seperti pagi tadi. Aku menatap sedikit ke arah lapangan, dan dugaanku benar, pantulan basket rupanya.

Anehnya, kali ini badanku biasa saja, degup jantungku juga normal-normal saja. Sampai aku mendengar suara bisikan dari arah belakang,

   "Kamu mau main juga?"

Badanku mendadak kaku bak patung-patung yang berjajar di museum. Aku berusaha untuk berbalik badan, sembari berharap suara itu dari orang yang ku angankan.

   Ternyata... Benar, dia orangnya.

ANTOLOGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang