Mobil sport biru Dongker melaju kencang ke arah Keara. Ia menyeberang jalan tanpa melihat arah. Matanya sembab. Wajahnya basah dan kuyu oleh air mata. Kewaspadaan dalam dirinya berkurang. Hingga tanpa disadari moncong mobil itu menghantam tubuh langsingnya.
Seketika tubuh terpental sejauh setengah meter. Mobil sport tersebut mundur, memutar arah, lalu melarikan diri tanpa melihat keadaan gadis malang itu. Beberapa orang yang melihat kecelakaan itu segera menghampiri tubuh yang tergeletak.
Salah satu orang memeriksa napas dan denyut nadinya. Ia segera menelepon ambulans sebab gadis yang terbaring itu masih hidup meski luka di kepalanya begitu parah. Darah sudah tergenang di sekitar tubuhnya.
"Hei, kalian lagi lihat apa?" Keara berbalik, melihat orang-orang berhamburan di belakangnya ke tengah jalan. Karena begitu penasaran, ia menghampiri kerumunan.
"Ada apa, sih?"
"Kau koma saat ini," ucap seorang pria berkemeja putih di dekatnya. Seketika Keara mundur, menjauhi kerumunan.
Keara memandang si pria tadi, lalu memandangi kerumunan bergantian. Tak lama, sirene ambulans meraung untuk meminta jalan. Kerumunan membubarkan diri, tetapi tak sedikit yang masih kepo dengan peristiwa nahas itu. Sesudah agak lengang, ia baru bisa melihat tubuh seorang gadis tergeletak dengan darahnya di aspal.
Matanya menyipit untuk melihat lebih jelas. Ia mengingat dengan jelas pakaian yang dikenakannya mirip dengan gadis yang tergeletak itu. Tanpa pikir panjang, ia berlari mendekat.
Tangannya menutup mulut seketika. Air mata jatuh tak tertahankan ketika apa yang dilihatnya ternyata tubuhnya sendiri. "A–aku, i–itu aku?"
"Ya, itu kau." Pria berkemeja putih tadi sudah berada di dekat Keara tanpa suara mendekat.
Keara terperangah. "Siapa kau?"
"Aku yang akan menemanimu selama 40 hari ke depan, sampai kondisimu membaik atau ... mati."
Kelopak mata Keara melebar. "Apa maksudmu?"
"Tubuhmu akan dibawa ke rumah sakit. Ayo, kita naik ke ambulans."
Raungan sirene kembali bergema di jalanan pusat kota yang cukup ramai itu. Membawa tubuh Keara menuju rumah sakit terdekat.
Keara memandangi kaca jendela pintu ambulans. Di jalan di mana tubuhnya tergeletak telah dipasangi garis kuning. Beberapa petugas dari kepolisian sibuk hilir mudik di sekitar daerah itu mencari saksi.
Hati Keara kembali berdenyut. Ia mengingat bagaimana sebelum kecelakaan, datang ke kantor kekasihnya. Kantor itu berada tak jauh dari taman kota yang ramai di mana ia mengalami kecelakaan. Hatinya hancur saat itu, ucapan kekasih betul-betul melukainya.
Kekasih yang telah beristri itulah penyebab semua peristiwa nahas. Keadaan sulit yang membuat mereka tak bisa bersama. Luka hatinya menganga, setelah sekian tahun mereka menjalin cinta, ia merasa dicampakkan. Ia melarikan diri dengan mata yang buram karena air mata.
Hidupnya hancur, sehancur hatinya saat itu. Ia tak peduli lagi kendaraan yang melaju kencang ke arahnya. Sempat ia menoleh tatkala moncong mobil menabrak tubuhnya, lalu terpental, kepalanya membentur aspal. Lalu, semuanya gelap.
Seketika ia hanya ingat bahwa tubuhnya terbaring, dibawa menuju rumah sakit, sementara kesadarannya, atau jiwanya duduk bersebalahan dengan 'kau tahu siapa' mengantarkan tubuhnya yang koma. Apa itu cerita dongeng atau fantasi?
"Katakan padaku, siapa kau?" tanyanya, begitu frustrasi dengan keadaannya saat itu.
"Panggil saja aku Valdis, Than Valdis, Keara Almya"
Keara berjengit. Ia terkejut bahwa si pria mengetahui namanya, padahal ia belum menyebutkannya. "Dari mana kau tau namaku?"
"Akulah, maut!" Valdis menyeringai. Wajah putihnya berubah begitu kusam dan aura kegelapan di sekelilingnya.
Keara menjauh. Bibirnya menganga, tangannya gemetar. Tatapan ketakutan terpancar dari matanya, hingga ia hampir menangis dibuatnya. "To–tolong menjauh dariku," mohonnya kepada sang maut. "Aku masih ingin melakukan banyak hal di hidup ini, Pak. Tolong biarkan aku hidup."
Valdis kembali ke wujud seperti manusianya. Salah satu wujud pria yang pernah ia lihat di layar televisi di tengah taman kota. Pria yang menjadi topik utama karena terkenal, lalu mati bunuh diri. Ia menyerupai pria yang mati tersebut.
"Sudah kukatakan, aku akan menemanimu selama 40 hari. Kalau kau bertahan, kau akan hidup, sementara jika tidak, aku akan membawamu serta ke alam baka." Than tersenyum, lalu kembali menatap tubuh Keara yang terbaring.
Suara mesin nyaring membuat jiwa Keara terkejut bukan kepalang. "Hei, hei, itu mesinnya." Suaranya begitu getir. "Tolong, Pak!"
"Aku tak bisa melakukan apa-apa. Biarkan petugas melakukan pekerjaannya."
Petugas medis mencoba menekan bagian dada. Mesin masih berbunyi. Petugas lain mengambil peralatan picu jantung, menyetelnya, lalu menaruhnya di dada. Kejut pada alat tersebut, memengaruhi jiwa Keara. Ia bagai tersengat listrik.
Seketika ia menjadi kaku. Tatapannya lurus tanpa fokus. "Tubuhku ...."
Suara mesin kembali normal. Keara melihat latar diagram jantungnya.
"Sudah normal, kamu selamat di ujian pertama, Keara."
Keara menoleh. "Apa maksudmu?"
"Kondisi tubuhmu kritis karena kehilangan begitu banyak darah."
Usai mengatakannya, tak lama, mobil ambulans berhenti. Para petugas turun, lalu mengangkat brankar dorong. Mereka melarikan tubuh itu secepat yang mereka bisa. Salah satu petugas memegangi tiang infus. Darah terus mengalir ke tubuh melalui selang.
"Kamu beruntung mereka membawa stok darah."
Keara mengikuti brankar itu secepatnya. Ada hal lain yang dirasakannya saat berlari. Tubuhnya seringan bulu. Aneh sekali. Terutama ketika pintu ruang emergency menutup, ia bisa tembus tanpa bisa menyentuh pintu yang terbuat dari campuran logam dan kayu itu.
Setelah berada di dalam ruangan tanpa membuka pintunya, Keara memperhatikan tangan, tubuh, dan kakinya. Ia bertelanjang kaki, memakai pakaian serupa daster berwarna putih yang panjangnya hingga di atas lutut.
"Aku benar-benar roh sekarang?"
"Ya." Mendadak pria itu muncul di sebelahnya.
Ia membuat Keara mundur hingga menabrak meja. Untung tembus, meja itu tak bergeming. Namun, membuat Keara semakin histeris.
"Tidaaak!"
"Kau akan terbiasa. Oh, beberapa penghuni rumah sakit mengikuti di luar sana."
"Apa?" Keara segera ke pintu untuk melihat melalui kaca. Matanya membeliak. Rupa mereka mengerikan. "Mereka ... mereka kenapa?"
"Korban kecelakaan atau pembunuhan. Semua mati di unit gawat darurat ini."
Seketika Keara menutup wajahnya dengan tangan. "Apa aku juga semengerikan itu?"
"Ikut aku," ajak Valdis, melangkah menembus tembok ruang emergency yang tebal.
"Hah! Tapi ... tapi caranya gimana?"
Keara mendekat ke tembok di mana Valdis menembusnya. Ia mengulurkan lengan untuk menyentuh tembok, dan tangannya terjulur menembus tembok tersebut. Dengan hati-hati, ia melangkah, memaksa dirinya untuk menembus tembok. Seketika ia telah berada di luar rumah sakit.
Di dekat rumah sakit itu terdapat sungai. Airnya cukup jernih. Valdis mengajak Keara untuk bercermin melalui air sungai itu. "Lihatlah melalui pantulan bayangan di sungai."
Keara melangkah. Ia berdiri tepat di tepi sungai, lalu menunduk. Awalnya kabur, lama-lama tercipta bayangan di sana. Bayangan wujudnya setelah kecelakaan.
"Aaargh!"
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
K O M A - Can't Stop Loving You
FantasyKeara Almya, mencintai pria yang telah beristri. Kisah cintanya begitu tragis. Ia harus menerima kenyataan bahwa mereka takbisa bersama. Karena kesedihannya, ia mengalami kecelakaan yang langsung membuatnya takbisa bangun dari ranjang. Hidupnya haru...