Rasa Malu tak Terkira

3 0 0
                                    

Tentu saja malu. Meskipun bukan tubuh miliknya, tetaplahroh Keara yang ada di dalam raga itu. Wajahnya memerah. Salah satu tangan berusaha menutupi payudaranya. Sementara tangan lain memegangi bedcover yang hanya menutupi bagian bawah.

Untuk menutupi rasa malu, Keara menutup mata. Tak berani memandang Valdis apalagi kalau harus melihat proses menjahit belahan perut cukup lebar itu.

"Apa tubuh yang kau tempati juga tak merasakan sakit?" tanya Keara masih dengan menutup mata.

Valdis terkekeh. "Tidak, karena aku sang maut. Sebagai manusia pun, aku tidak merasakan apapun yang dirasakan manusia."

"Apa kau memiliki perasaan?"

Valdis terdiam. Tangannya dengan terampil menusukkan jarum ke kulit tubuh itu, lalu perlahan menariknya. Keara tak merasakan apa-apa, hanya rasa malu menelanjanginya. Meskipun Valdis tak memiliki perasaan, tetap saja rupanya masih lelaki.

"Kenapa aku masih merasakan malu?" tanya Keara, mengangkat sebelah alisnya.

"Kau masih hidup, belum mati. Meski tubuhmu takbisa bergerak, pikiranmu masihlah manusia."

"Oh, begitu. Lalu, kenapa kamu nggak menjawab pertanyaanku? Kamu benar-benar tak memiliki perasaan?"

Valdis masih diam, tangannya terus menyelesaikan pekerjaan sampai selesai. Dia menjahit bagian yang menganga itu dengan hati-hati dan begitu rapih, sehingga tidak ada celah yang tersisa. Seakan-akan kulit itu kembali menyatu.

"Kamu mendapat banyak jahitan. Jangan bergerak terlalu banyak. Tubuh ini tak memiliki metabolisme, jadi kuharap, kamu berhati-hati kalau tak ingin tubuhnya terbelah menjadi dua." Valdis berdiri, menarik bed cover agar menutup tubuh itu sempurna hingga leher. "Sebagai sang maut, aku memiliki perasaan. Tapi, ketika menempati tubuh ini, aku sama sekali tak memiliki hasrat."

Usai mengucapkannya, Valdis bangkit, keluar dari kamar Keara berada. Ia melangkah ke ruangan kerja. Tempat di mana tubuh yang ditempatinya menaruh memo. Ada laptop, dan ponselnya juga di sana. Dindingnya dipenuhi oleh lemari berisi banyak buku hingga ke langit-langit. Pada tengah lemari, tergantung layar televisi besar.

Valdis menyalakannya. Berita kriminal ditayangkan tengah malam hingga pukul 6 pagi. Di mana dimungkinkan tidak ada anak di bawah umur yang menontonnya.

"Kematian Jerry Anderson masih misteri, ditambah lagi rumah sakit menyatakan telah kehilangan tubuh Jerry dua hari yang lalu. Berikut pernyataan resmi dari kepala rumah sakit ...."

Valdis menonton acara tersebut. Terpampang foto Jerry Anderson di sebelah pojok kanan atas. Foto yang mirip dengan wajah Valdis. Kasus Jerry agak rumit. Setelah koma selama 40 hari lamanya akibat percobaan pembunuhan, dia akhirnya mati tanpa mengetahui fakta siapa yang membunuhnya. Roh Jerry menyerah. Namun, tidak bagi Valdis.

Keputusannya membantu Jerry karena ketidakadilan tengah merajalela di depan matanya. Ia telah menemukan fakta-fakta sesaat sebelum Jerry mengembuskan napas terakhirnya. Meski telah dibujuk, Jerry memutuskan pergi ke alam baka. Menitipkan segala perkara ke pundak Valdis.

Valdis pun kembali untuk melanjutkan pencariannya. Tak disangka, ketika ia tengah mengawasi gedung di dekat taman, kecelakaan terjadi. Sebagai sang maut, dia menerima tugas baru meski tugas lama masih harus dilakukannya. Tugas untuk menyelesaikan kasus Jerry.

Valdis tak ingin kejadian setahun yang lalu terulang kembali. Sampai  detik ini, pembunuh wanita yang dipakai Keara, belum juga tertangkap. Itu kesalahannya, dan ia tak mau itu terulang kembali. Maka, ia akan berusaha menyelesaikan tiga tugasnya sekaligus.

Ia tahu bahwa ketiganya sangat jauh keterkaitannya. Jadi, ia hanya akan membantu Keara terlebih dahulu sampai gadis itu tersadar dari koma. Setelahnya, ia akan menyelesaikan dua kasus lain.

Sementara itu, di kamarnya, Keara meringkuk dengan wajah memanas. Ada apa dengannya? Memang selama hidup, ia dan kekasihnya tak pernah macam-macam. Mereka hanya berkencan biasa. Sampai umur yang sudah memasuki 27, Keara masih perawan. Dari sejak pacaran 7 tahun yang lalu, mereka memang berniat saling menjaga. Namun, apa yang dilakukan kekasihnya itu?

Setelah malam berlalu, pagi pun mendatangi dengan malu-malu. Cahaya mentari bersinar lembut, menerobos tirai jendela besar di dekat ranjang di mana Keara berbaring. Semalaman Keara tak merasa ngantuk. Memang ada roh yang tidur?

Akhirnya, setelah bergelung bed cover, Keara memutuskan untuk mendinginkan tubuhnya yang terasa panas. Aneh memang. Harusnya kalau mayat tubuhnya akan terasa dingin.

Dengan mengendap-endap, Keara melangkah ke kamar mandi. Disampaikannya bed cover di gantungan handuk, lalu memutar kran handshower. Air dingin keluar dari pancurannya.

Benar kata Valdis, Keara takbisa merasakan panas atau dingin, tapi kenapa wajahnya kemarin terasa panas? Air yang membasuh tubuh harusnya terasa dingin di kulit. Nyatanya tidak. Ia berencana mencoba menyalakan air panas, tapi diingatnya jahitan yang bisa saja robek. Membayangkannya membuat Keara bergidik ngeri.

Setelah membersihkan diri, ia mengenakan bathrobe. Kemudian, keluar dari ruang kamar mandi. Sudah ada Valdis duduk di atas ranjang, menunggunya selesai mandi.

"Kamu menganggetkanku, Vald!"

"Ini pakaian barumu, dan sepatu," ucap Valdis, tangannya menenteng kantung kertas dengan merek butik ternama.

Keara merebut tas tersebut. "Makasih, ya. Kamu masih mau duduk di situ?"

"Tentu," jawabnya, acuh tak acuh.

Keara mendengkus sebal. Ia membuka bungkusan, ada kaus berwarna putih bersih dengan celana semata kaki berwana indigo. Lebih dalam lagi ada sepatu kets berwarna senada dengan kaus dan celananya.

Dengan perlahan, ia membuka bathrobe di depan Valdis. Ia telanjang bulat. Segera saja ia memakai dalaman yang ada di dalamnya kantung kertas tersebut.

Valdis sendiri memalingkan wajah ketika mendadak Keara melepaskan bathrobe-nya. Entah apa yang terjadi, jantungnya berdetak kencang. Padahal tubuh yang ditempatinya sudah mati. Apa yang terjadi?

Usai berpakaian, Keara langsung berbalik. Ia melihat Valdis menunduk sambil memegangi dada sebelah kirinya. Refleks ia menghampiri.

"Ada apa, Vald?" Keara berjongkok di depan Valdis.

Valdis menoleh, menatap mata biru Keara yang menatapnya dengan perasaan cemas.

"Apa yang terjadi?" tanyanya lagi, lebih memaksa.

Seketika Valdis tersadar. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma melupakan sesuatu."

Ia langsung berdiri. Spontan Keara terjengkang karena gerakannya begitu mendadak. Ouch!

Diulurkan tangan Valdis ke arah Keara, yang disambut dengan wajah cemberut. "Bilang-bilang, dong, kalau mau berdiri!"

"Maaf." Valdis langsung berbalik, keluar dari kamar itu.

Keara menggaruk kepalanya yang masih tertutup handuk putih. "Apa yang terjadi padanya?"

Segera ia mengeringkan rambut panjang keemasannya. Wanita blonde yang ditempati roh Keara memang memiliki rambut bergelombang yang indah. Pantas saja kalau Valdis naksir berat. Tunggu dulu!

"Apa dia tadi mengira aku sebagai wanita itu?" Ia menutup bibirnya dengan mata melotot ke arah cermin. "Astaga! Dia jatuh cinta padamu, Sistah!"

Keara mungkin terdengar gila bila ada yang melihatnya ngomong sendiri di depan cermin.

"Sebenarnya siapa kamu?" tanyanya, kepada bayangan di dalam cermin. "Apa kamu kekasih Valdis?"


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

K O M A - Can't Stop Loving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang