Keara menjerit ngeri. Pantulan yang terlihat di air bukan wajahnya. Ada luka bekas gesekan dengan aspal, penuh darah. Belum luka di belakang kepalanya yang retak.
Than Valdis menyentuh pundak Keara. Sekejap saja wujud buruk rupa di pantulan air berubah menjadi wajahnya sendiri. Namun, Keara tersadar sesuatu.
"Tunggu dulu! Aku kan roh? Memang kalau roh bisa terlihat pantulannya?"
"Justru orang bisa melihatmu melalui pantulan cermin atau air," tukasnya sambil lalu. Pria itu melangkah, menjauhi air.
Mata Keara meredup tatkala menatap bayangannya. Lalu, ia melangkah, mengikuti ke mana Valdis pergi. Mereka menuju ruangan operasi Keara lagi.
Kali ini, mereka tak menembus tembok. Valdis sengaja memutari gedung, menuju pintu utama unit gawat darurat. Di sana Keara melihat begitu ramai. Yang aneh, tak terdengar hiruk-pikuk seperti ketika berada di tempat dengan banyak orang.
Ketika langkah mereka semakin dekat, Keara menutup mulutnya yang terbuka. Ia syok. Orang banyak yang dilihatnya semua berwajah begitu buruk. "Mereka orang mati?"
"Huum, kalau yang belum mati, biasanya nggak akan seburuk itu."
Tubuh Keara menggigil, padahal tak terasa dingin. Bibirnya gemetaran. Tangannya yang memang tak terasa panas atau dingin pun gemetaran. Ia sungguh ketakutan, benar-benar takut.
"A-apa, apa ... aku akan mati?"
"Aku belum menemukan namamu gugur. Kita tunggu saja."
Keara berusaha menarik napas banyak-banyak. Melupakan fakta kalau ia tak perlu bernapas sebagai roh.
"Untuk apa kau melakukan itu?"
"Eh, apa?"
"Kau tak perlu bernapas, nanti kalau sudah membaik, kau bisa melakukannya lagi."
Valdis masuk ke unit gawat darurat, diikuti oleh Keara. Di sisi kiri dan kanan mereka, berbaris para roh penasaran. Hal itu membuat Keara penasaran juga.
"Tuan, apakah mereka didampingi seperti aku sekarang?"
"Tentu saja."
"Lalu, kenapa mereka tetap berkeliaran di sini?"
Valdis menghentikan langkahnya. "Kau ingin tau?"
Keara bungkam. Ia hanya penasaran saja. "Apakah kalau aku mati, aku akan seperti mereka?"
"Aku akan membawamu ke alam baka. Di sana kau akan ditentukan akan menjadi roh macam apa," tukasnya, tanpa menoleh. Ia langsung berjalan lurus menuju ke arah ruang operasi.
Keara mengejarnya. Agak sedikit terhambat karena banyak roh yang berusaha menahannya. Karena kesal, ia berteriak frustrasi. "Apa sih mau kalian?"
Salah satu yang berwujud wanita dengan wajah rusak seluruhnya mendekat, membuat Keara refleks mundur. "Aku belum mau mati!" geramnya, tercium aroma busuk dari sosok itu. Keara memalingkan wajah. Mau mundur, ia sudah terdesak. Tubuhnya menabrak tembok di belakangnya.
"Itu bukan salahku, kenapa kalian menggangguku."
"Pergilah!" Terpancar cahaya putih dari arah lorong di mana Valdis berada. Cahaya itu menyapu bersih roh-roh mengerikan di sekitar pintu masuk unit tersebut. "Ayo, tubuhmu akan dipindahkan!"
Keara mengikuti pria berkemeja putih itu. Mereka berjalan mengarah ke ruang rawat jalan. Di lorongnya ada beberapa paramedis sedang mendorong brankar. Segera mereka mempercepat langkah.
Brankar tersebut memang membawa tubuh Keara. Mereka akan membawanya ke ruang ICU. Tak lama, sosok yang dirindukan Keara muncul.
"Apakah dia baik-baik saja?" tanya Zuhayr Liuz, mendatangi salah satu paramedis.
Keara tergemap. Tubuhnya bergetar ketika tahu kalau kekasihnya datang.
"Dia baik-baik saja, tapi masih belum melewati masa kritisnya. Kita tunggu saja, ya."
Liuz mengusap wajahnya yang kusam akibat terlalu banyak bekerja. Ia takbisa langsung datang ke rumah sakit karena pekerjaan yang menumpuk. Hanya dihubungi pihak rumah sakit bahwa mereka membutuhkan persetujuan untuk segera mengoperasi pasien yang kritis.
Keara menghampiri Liuz. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah sang kekasih. Namun, tangannya menembus tubuh kekasihnya itu. Ia takbisa menyentuhnya.
Ia menunduk, rasanya pedih sekali. Ketika bisa melihat wajah kekasih, tetapi ia tak bisa menjangkaunya. Mungkin seperti itulah kehidupannya selama ini. Ia takbisa memiliki kekasihnya seutuhnya.
"Yuz, kau dengar aku?"
Liuz tak bergeming. Lebih tepatnya, ia takbisa melihat keberadaan Keara di dekatnya. Dengan cepat, ia menelepon orang tua Keara untuk datang ke rumah sakit. Walau ia mampu bertanggung jawab untuk biaya rumah sakit dan operasi, tetap saja Keara memerlukan keluarganya juga.
Usai menghubungi orang tua Keara, ia masuk ke kamar ICU. Ia mensterilkan dirinya, memakai baju berwarna hijau, masker dan sarung tangan. Setelahnya, ia melangkah mendekati tubuh Keara yang tersambung dengan beberapa alat.
Wajah Liuz berkedut ketika melihat wanita yang sempat dicintainya itu telah rusak wajahnya. Sisi sebelah kiri wajah berbalut kain kasa sampai membungkus seluruh kepalanya, kecuali bagian yang hanya menampilkan lebam.
"Maafkan aku, kita takbisa bersama, Key. Istriku hamil." Liuz tergugu dengan kepala menunduk.
Keara mendengar semuanya. Berita itu bagai petir menyambar. Meluluhlantakkan harapannya akan kebahagiaan mereka di masa depan.
Liuz tak pernah mengatakan istrinya dengan kata 'istriku' sebelumnya. Namun, entah kali ini berbeda. Hal itu, betul-betul menyakiti Keara.
Nuut, nuuut, nuuuut! Mesin itu berbunyi lambat. Menunjukkan bahwa kerja jantung Keara perlahan melambat.
Liuz bergegas mengusap wajahnya, lalu menekan bel tanda darurat. Tak lama, dokter dan paramedis berhamburan datang untuk mengecek pasien. Liuz terpaksa keluar, membiarkan mereka menangani tubuh Keara.
Sementara itu, roh Keara sudah berjongkok di sudut kamar. Berdiri di sebelahnya Than Valdis menemani ke mana saja Keara berada sambil memandangi orang-orang yang tengah sibuk mengupayakan agar nyawa seseorang terselamatkan.
"Mengapa kalian mempertahankan kehidupan sebegitunya?" tanya Valdis, sama sekali tak mengerti isi hati Keara yang terluka.
Keara bergumam, lebih tepat meracau tak jelas, membuat Valdis mengulangi pertanyaannya. "Kalian manusia ditakdirkan untuk mati. Mengapa begitu keras mempertahankan kehidupan orang lain? Lihat mereka?"
"Itu sudah pekerjaan mereka," ketus Keara, merasa kalau Valdis telah mengganggu momen sentimentalnya saat itu.
"Percuma saja, tapi kau belum bisa mati sekarang."
Keara mendongak. "Benarkah?"
Valdis mengangguk. "Sepertinya, ada yang janggal dari kecelakaanmu. Karena itulah, kau masih diberi kesempatan 40 hari untuk mencari tau."
Keara bangkit. "Benarkah?"
"Ya, aku bisa membantumu untuk mencari tau, di situlah peranku untuk membawa jiwa-jiwa agar tak mati penasaran."
"Lalu, aku akan mati?"
Valdis terkekeh. "Kan, sudah kubilang, takdir manusia itu mati. Kenapa harus risau kau akan mati sekarang, 40 hari lagi, atau nanti?"
Wajah Keara memberengut. Valdis benar-benar menyebalkan. "Aku tau, tapi aku masih muda, belum menikah, dan ...." Lalu, wajah mendung bergelayut. Kesedihan di matanya begitu jelas. "Ayah dan ibuku akan sedih."
"Kesedihan mereka hanya sebentar, setelahnya, mereka akan perlahan melupakanmu."
Keara melirik tajam ke arah Valdis. "Tega sekali kau bicara seperti itu!" tunjuknya di depan wajah Valdis. Hal itu, membuat pria itu terkejut.
Digenggamnya hari telunjuk Keara, lalu diturunkan perlahan. "Itu kenyataannya," bisik Valdis, mendadak matanya membeliak ke arah mesin pendeteksi jantung.
Nuuuuut!
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
K O M A - Can't Stop Loving You
FantasyKeara Almya, mencintai pria yang telah beristri. Kisah cintanya begitu tragis. Ia harus menerima kenyataan bahwa mereka takbisa bersama. Karena kesedihannya, ia mengalami kecelakaan yang langsung membuatnya takbisa bangun dari ranjang. Hidupnya haru...