Seminggu sebelum menerima undangan//
Ketika mentari digantikan rembulan, bintang mulai memenuhi sang langit malam. Seorang wanita berpakaian formal tak bisa menutupi lengkung bibirnya yang berbentuk bulan sabit. Meski begitu samar, nyaris tak terlihat. Namun masih ada binar bahagia di kedua matanya. Itu pun jika diperhatikan lebih seksama. Jika ada yang paham karakter juga sikapnya selama ini.
Semua itu hanya karna sebuah pesan singkat yang dia terima sore tadi. Mengatakan jika ada satu sosok, yang akhir-akhir ini sering menarik perhatiannya--tengah menunggunya. Menantinya di tengah kota, di salah satu taman tidak jauh dari kantornya.
Dia bahkan tidak mau repot-repot mengendarai mobilnya, memilih melangkah tenang dengan wajah lebih sesekali menengadah. Menatap langit malam yang terlihat begitu gelap. Bintang yang tadi sempat memenuhi langit malam, berangsur-angsur menghilang. Di gantikan dengan mendung dan angin malam yang lebih kencang.
Di sela langkahnya yang tenang, ada kerut khawatir di sana. Yang selama ini tak pernah dia tunjukkan pada siapa pun. Sampai kedua matanya menemukan seseorang yang mengiriminya pesan, dia berdehem pelan, kembali memasang wajah datar juga tatapan kakunya. Melangkah anggun ke arah pria itu yang kini berdiri dari duduknya, tersenyum lembut padanya. Senyum yang begitu dia sukai akhir-akhir ini.
"Hai," sapanya untuk pertama kalinya. "Kamu datang sendiri?"
"Ya,"
Diam. Lama.
"Oh, kamu mau duduk, Karra?" Ujarnya menggeser diri. Mempersilahkannya untuk duduk, yang disambut Karra dengan anggukan kepala sekenanya.
Ada debar tak biasa yang Karra rasakan saat dia sudah duduk di samping pria itu. Namun, sebisa mungkin dia menutupinya, bersikap biasa saja hingga keadaan kembali hening.
"Emm, bagaimana di kantor?"
Karra menoleh. Lalu, "Biasa saja." Ujarnya kaku. "Kamu ingin mengatakan sesuatu?" Balik tanya Karra. Seakan tahu kegusaran pria di sampingnya.
"Katakan saja." Tambahnya. Seakan benar-benar tahu jika ada yang tidak beres pada pria di sampingnya.
Mereka mengenal cukup lama. Begitu menurut Karra. Karna dia--dan bagaimana sikapnya selama ini. Tidak banyak yang bisa berinteraksi dengannya. Hingga pria di sampingnya itu adalah pria pertama yang bisa membuatnya bersikap melunak.
"Ada apa?" Tanya Karra karna pria di sampingnya tak kunjung berbicara. "Alkas?"
"Hubungan kita ... Kamu tahukan, Karra, jika aku sangat mencintaimu?"
Karra mengerjab kaku, namun karna wajahnya yang begitu datar dan kaku tidak ada ekspresi lain selain datar. Membuat Alkas pun meringis pelan. Dia sudah terbiasa menerima respon seperti itu dari wanita di sampingnya. Dan sejauh ini, hubungan mereka baik-baik saja. Alkas bisa memaklumi juga bisa menerima semua sikap datar wanita di sampingnya.
"Karra, aku tidak tahu apakah ini nyaman untuk mu atau tidak. Tapi, aku hanya ingin mengatakan isi hatiku."
Tidak ada tanggapan dari Karra, dia hanya diam. Dia ... Masih cukup terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar. Setiap pria di sampingnya mengungkapkan perasaannya, Karra selalu bersikap sama. Dia
"Aku ... " Karra kesulitan menyusun kata-katanya. Selain dia tidak tahu harus bagaimana, dia juga bingung saat ada yang mengungkapkan perasaan padanya. Jika boleh jujur, dia pun menyukai pria di sampingnya. Namun dia bingung bagaimana cara mengungkapkan isi hatinya.
"Aku tidak akan berharap untuk menerima balasan perasaan darimu, Karra. Sejauh ini, begitu. Cukup kamu tahu isi hatiku, kamu bisa menerimaku. Juga mau berdiri di sampingku, itu bahkan sudah lebih dari cukup. Karna aku cukup tahu tempatku. Kamu dan aku berbeda. Sangat jauh berbeda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Terakhir; Karra (SELESAI)
RomanceHubungan Karra dan Damla Adreno tidak seperti cucu dan kakek pada umumnya. Karra sangat membenci sang kakek karena pria tua itu telah merenggut kebebasannya dan menjadikan pernikahan Karra sebagai transaksi untuk membesarkan perusahaan. Karra di...