Satu

3.8K 204 8
                                    

"Bu,"

Wajah yang awalnya menunduk di atas berkas, menekuni kegiatannya sedari tadi pun terangkat. Menatap seseorang yang memanggilnya 'Bu'

Sekilas keningnya berkerut samar, namun tangannya tetap terangkat untuk menengadah. Yang seakan paham, sekretarisnya yang memanggilnya pun ragu-ragu menyodorkan apa yang kini berada di tangannya. 

"Apa ini?!" Tanyanya datar, tidak ada keramahan di sana. Begitu pun ekspresi wajahnya yang tenang dan datar.

"Undangan pernikahan pak Alkas, Bu. Dikirim langsung oleh beliau."

Sejenak tangan yang tadinya terulur itu terhenti beberapa detik, sebelum kembali mendekat untuk menerima kertas bludru yang sekretarisnya sodorkan. Yang katanya adalah undangan pernikahan.

Undangan pernikahan seseorang yang tidak pernah ia duga ia akan mendapatkannya.

"Bu Karra ... Akan datang?" Pertanyaan bernada ragu itu, kembali terdengar dari pria yang berdiri di depan meja. Yang dijawab oleh keheningan juga sepi.

Wanita yang dipanggil Karra pun hanya melirik sekretarisnya sekilas sebelum kembali sibuk membuka undangan di tangannya.

Wajahnya masih tampak tenang, apalagi saat nama seseorang--yang bertuliskan di tinta emas dapat dengan jelas dia baca di undangan itu. Nama yang sama, yang sering ia dengar dan akhir-akhir ini tak lagi sering menghubunginya.

"Dimas," panggilnya pada sekretarisnya. Yang segera dijawab cepat.

"Ya, Bu?"

"Tolong kosongkan jadwal saya untuk tanggal ini," dia kembali menyodorkan undangan di tangannya. Sudah hanya begitu saja. Namun jelas dia tahu jika segalanya tidak sesederhana itu. "Saya akan datang." Suara itu tetap terdengar tenang.

"Ibu, yakin?" Dimas membasahi bibirnya saat tatapan atasannya menghunus tajam, membuatnya salah tingkah sendiri. Namun dia tahu jika dia sama sekali tidak bisa menolak apalagi mendebat atasannya itu.

"Emm, baik, Bu. Saya akan kosongkan jadwal ini." Ujarnya tanpa bantahan. Yang membuat Karra kembali menunduk. Menekuni kegiatannya tanpa berlama-lama mau menatap wajah itu.

Sekretarisnya adalah orang yang paling tahu bagaimana Karra berusaha dalam hubungan itu. Dan sekarang, pasti dia terlihat begitu sangat menyedihkan di depan sekretarisnya itu.

"Ada lagi, Dimas?"  Tanyanya saat sekretarisnya masih berdiri di tempatnya. Sama sekali tidak bergerak dari sana.

Mendengar pertanyaan atasannya, Dimas mengerjab terkejut, buru-buru menunduk dan pamit pergi, padahal dia yakin atasannya tidak akan melihatnya karena saat ini atasannya itu bahkan masih sibuk dengan kegiatannya. Tanpa menatapnya, tapi entah mengapa aura wanita itu seakan begitu bisa membuat orang-orang di sekitarnya merasa terintimidasi meski tanpa bertatapan langsung dengannya.

***

Begitu mendengar suara pintu tertutup, kedua mata Karra terpejam, pulpen di tangannya jatuh tanpa bisa di cegah. Bersamaan dengan tangannya yang terkepal hingga memerah, bahkan kuku-kukunya terasa begitu menusuk. Melukai telapak tangannya hingga mengeluarkan darah.

Dia benci ketika perasaannya mulai melemah, dia benci ketika orang menatapnya kasihan. Dia ... Jelas tahu apa yang saat ini sekretarisnya pikirkan tentangnya. Tentang bagaimana dia yang tampak begitu menyedihkan karna undangan sialan itu.

Bibirnya tersenyum kecut, kedua matanya hanya melirik sekilas pada noda darah dari telapak tangannya. Tanpa berniat mengobatinya. Bahkan dengan santai dia kembali meraih pulpen di sampingnya, kembali sibuk dengan kegiatannya. Hingga pintu ruangannya kembali di buka dari luar, tanpa menoleh atau melihat siapa sang pelaku, dia jelas tahu siapa orang itu. Orang yang bisa keluar-masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Tanpa permisi. Karna kekuasaan orang itu jauh lebih tinggi darinya. Jauh lebih berkuasa dari dirinya.

"Kamu sudah mendapatkan undangan itu?"

Karra hanya bergumam menjawab, masih sibuk dengan kegiatannya tanpa mengangkat wajahnya. Enggan menanggapi.

"Dia menikah dengan putri Abraham."

Tidak ada tanggapan, semua itu membuat suasana hening beberapa saat.

"Kamu lihat kan, bagaimana dia mencampakkanmu begitu saja? Kakek tahu jika dia sama seperti laki-laki lain di luar sana."

Karra masih diam, membungkam mulutnya begitu mendengar cibiran juga ucapan pedas itu.

"Laki-laki seperti itu yang ingin kamu bawa masuk kekeluargaan kita? Ckk,"

"Lihat, hanya dengan sedikit gertakan, ancaman. Dia sudah berpaling, ck," kepalanya menggeleng cepat. Berkali-kali. "Dia itu sama seperti laki-laki miskin di luar sana. Yang pasti menginginkan harta kita, dia bahkan menikah dengan wanita yang lebih kaya raya dari dirimu. Pria seperti itu, apa kamu masih ingin mempertahankannya, Karra? Kamu masih ingin-"

"Jika anda sudah selesai dengan semua ocehan anda, anda bisa keluar dari ruangan saya!"

Karra bisa mendengar dengusan kesal dari pria tua di depannya. Pria tua yang dia panggil dengan sebutan kakek, tuan Damla Adreno, ayah kandung dari almarhum papanya yang dulu pergi meninggalkannya begitu saja bersama ibunya. Pria yang begitu dia benci hingga detik ini. Yang selalu berhasil membuat Karra merasa dia begitu muak.

"Saya yakin anda sangat sibuk, kan?"

Tak terpengaruh dengan cibiran cucunya, Damla Adreno pun melangkah mendekat.

"Kakek tidak mau tahu, Karra! Kamu harus bisa menikah dengan pria yang bisa mempengaruhi perusahaan kita. Yang bisa membuat perusahaan kita semakin besar dan kuat."

Kedua pasang mata itu saling menatap tajam, saling berusaha mengintimidasi satu sama lain. Hingga kilatan tajam itu berubah menjadi sinis dan juga penuh kebencian.

"Jangan harap saya akan mendengar semua kata-kata anda tuan Damla Adreno! Ingat, saya bukan putra anda yang bisa di peralatan sesuka hati anda!"

Damla menyeringai, seringai yang selalu Karra benci. Seringai yang selalu bisa membuatnya tak berkutik.

"Cucuku, Karra, kamu tahu kan, jika siapa pun tidak akan bisa menolak keinginan kakek. Begitu pun kamu."

Cengkraman pulpen Karra mengerat, bersamaan dengan wajahnya yang mengerat penuh benci. Dia benci ketika semua kata-kata pria tua di depannya benar adanya. Dia benci ketika hidupnya harus berada di bawah kendali pria tua itu.

"Kakek dengar jika Abraham memiliki putra yang baru datang dari luar negeri."

Wajah benci itu berubah menjadi dingin. Begitu pun kedua matanya. Namun sama sekali tak terpengaruh dengan Damla, dengan santai dia malah kembali meneruskan ucapannya.

"Kakek ingin kamu mendekatinya. Buat dia tertarik padamu. Kalau perlu," senyumnya kian lebar. "Buat dia menjadi cucu menantu keluarga Adreno secepatnya! Dan kakek sama sekali tidak akan keberatan jika dia bisa menikah denganmu!"

Damla berbalik, keluar dari ruangan Karra dengan santai. Tak peduli dengan Karra yang kini begitu ingin membunuh pria tua itu di setiap detiknya.

Darah itu kembali mengalir, membasahi telapak tangan Karra karna genggamannya yang terlalu erat pada pulpen di tangannya.

Yang lamat-lamat, membuat sesuatu yang tidak pernah sembuh kembali terasa menganga. Kembali terasa kian melebar dan terluka. Namun jelas, dia tak tampak.

Wanita Terakhir; Karra (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang