Tiga

1.5K 148 4
                                    

Pukul delapan malam, Karra tiba di tempat pesta. Setelah membatalkan beberapa janji penting-karna Dimas, sekertarisnya membuat beberapa kesalahan. Tidak menuruti perintahnya seperti biasa. Akhirnya Karra bisa berada di tempat pesta itu.

Mewah, indah. Itu adalah perpaduan yang menggambarkan acara pesta malam ini. Layaknya pesta orang kaya pada umumnya, gambaran seperti itu pastinya adalah hal biasa.

Melenggang masuk lebih dalam ke ballroom hotel, ada wajah angkuh yang selalu menghiasi wajahnya. Tak peduli jika kini dia menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata. Menjadikannya objek pandangan liar beberapa pria hidung belang, karna gaun yang dia gunakan nyaris memamerkan lekuk tubuhnya. Juga kaki jenjangnya yang tampak begitu mulus dan panjang.

"Nona Karra," perhatian Karra teralihkan. Dia menoleh ke sumber suara. Seorang pria muda beringsut mendekat, tersenyum tipis ke arahnya.

Kedua mata Karra menelisik, mulai dari wajah hingga turun ke cara berjalan pria itu. Jangan tanya bagaimana cara berpakaian pria itu, rapi dan juga mahal. Khas pria kaya pada umumnya. Dan semua itu, nampak tak menarik di matanya.

"Perkenalkan, saya Danil."

Karra melirik uluran tangan pria di depannya. Lalu ekor matanya berputar ke sekeliling, demi menjaga kesopanan, dia mengulurkan tangannya. Menerima sekilas uluran tangan pria di depannya. Hanya ujung jarinya yang menyentuh telapak tangan pria di depannya. Namun cukup mampu mengembangkan senyum lebar Danil.

"Apa kita pernah bertemu?" Sekedar basa-basi, itulah yang Karra lakukan saat ini. Meski dia sendiri sudah bisa menebak apa jawaban dari pria di depannya. Jawaban yang sering dia dengar dari pria-pria kaya yang berusaha mendekatinya.

Yang merasa penasaran atau sering menjadikannya objek fantasi liar.

"Tidak. Tapi saya sudah sering mendengar tentang anda."

Tidak ada tanggapan dari Karra, karna dia merasa tak perlu lagi menanggapi kata-kata itu.

"Seperti ucapan tuan Damla, dia memiliki cucu yang sangat cantik. Sepertinya beliau tidak membual. Karna sekarang anda benar-benar terlihat sangat cantik di mata saya."

"Mungkin kakek saya terlalu berlebihan, tapi terima kasih atas pujiannya." Nada suara Karra mendingin, pertanda jika dia tak ingin berlama-lama berbasa-basi lagi.

"Saya harus pergi, permisi."

"Nona Karra, tunggu," tatapan Karra berubah tajam saat tanpa permisi, Danil menyentuh lengannya. Membuat langkahnya terhenti.

"Lepas!" Seru Karra menusuk.

"Ah, maaf, saya---"

Karra melenggang pergi, menjauh, namun dia masih bisa mendengar suara langkah kaki seseorang yang mengejarnya. Hingga tiba-tiba pandangannya tertutup pada sesuatu yang keras, yang nyaris menyentuh hidungnya.

Begitu dia mendongak, dia menemukan tatapan yang terlihat tak asing. Kedua bola mata yang terlihat dia kenali.

Dia tidak pernah mau repot-repot mengingat cara orang menatapnya. Juga kedua mata lawan bicaranya. Namun kali ini, ada yang berbeda, seperti ... Dia tidak asing dengan tatapan itu, juga kedua bola mata berwarna amber. Cara menatapnya tidak tajam, hanya saja begitu menenggelamkan, juga seperti ada magnet yang membuat Karra sulit mengalihkan pandangannya seperti biasa.

"Nona Karra..."

Karra menoleh, menemukan Danil yang masih mengejarnya, hingga pria itu kini berdiri di depannya saat dia telah memutar tubuhnya. Menghadap pria itu dan mengabadikan pria yang tadi sempat menghadang jalannya.

"Maaf, saya tidak bermaksud.. akh, selamat malam tuan Erik."

Karra memutar kepalanya sedikit, melirik pria di belakangnya lalu menggeser sedikit tubuhnya untuk menjauh. Baru sadar jika mereka begitu dekat tadi.

"Ini adalah acara adik saya, tuan Danil. Saya harap anda tidak membuat tamu saya merasa tidak nyaman bukan?"

Danil melirik Karra yang kini tengah menatapnya. Lalu, "Tentu tuan Erik, saya hanya ingin meminta maaf tadi." Menatap Karra dengan senyum samar. "Sekali lagi maaf nona Karra, karna sudah membuat anda tidak nyaman."

Karra tak menjawab, dia hanya mengangguk kecil. Membuat Danil menundukkan kepalanya sekilas sebelum pamit pergi.

"Saya tidak perlu berterima kasih atas bantuan anda, kan?" Ujar Karra, tanpa berbalik, menatap pria yang berada di belakangnya. Namun dia jelas tahu jika kini pria itu tengah menatap padanya. Atau sedari tadi pria itu memang menatapnya?

"Tidak masalah, tapi aku yakin jika akan ada banyak orang yang berkomentar tidak baik tentang mu. Kamu sadar kan, jika saat ini kita tengah menjadi pusat perhatian semua orang?"

Karra berbalik, menatap lawan bicaranya. Lalu senyum sinis menghiasi wajahnya.

"Sayangnya, saya tidak peduli dengan pandangan orang tentang diri saya." Setelah mengatakan itu, Karra melangkah menjauh. Mengabaikan Erik yang terus menatapnya.

"Ck, dasar gadis keras kepala." Gerutunya berbalik. Menatap Karra yang kini terus melangkah, tanpa mau menatap padanya.

****

"Karra," ada wajah terkejut yang menghiasi wajah Alkas saat menemukan Karra berdiri di depannya. Dengan gaun merah menyala, begitu pas melekat di tubuhnya. Melekuk bentuk tubuhnya yang begitu indah.

"Kamu ... Datang?" Gumamnya. Yang disambut wajah datar Karra.

Dulu, wajah itu menatapnya sedikit bersahabat. Tidak lembut, namun tidak sekeras sekarang.

"Tentu." Karra mengulurkan tangannya. Menjawab tangan pria yang sempat mengisi hatinya, sebelum terasa patah seperti saat ini.

"Selamat untuk pernikahan mu, Alkas."

"Terima kasih."

Karra menggeser tubuhnya ke samping, mengulurkan tangan pada gadis yang kini telah menjadi pasangan pria yang sempat dia sukai.

Tidak ada ucapan yang keluar dari bibirnya, begitu pun wanita di depannya. Hingga dia pun memilih menjauh. Melangkah dari dua orang yang menjadi pemeran utama di acara pesta malam ini. Dia tokoh utamanya.

Jangan berpikir Karra akan merasa sakit, patah hati atau semacamnya. Tidak, Karra tidak akan bersikap seperti itu.

Hidupnya, terlalu berharga untuk mengenal rasa sakit hanya untuk sebuah hubungan sekilas. Karna selama ini, ada banyak rasa sakit yang Karra rasakan. Yang jauh lebih membuatnya merasa begitu menyedihkan dan nyaris tak ingin bertahan lebih lama.

***

Selesai mengucapkan selamat pada dua pengantin. Karra langsung berniat keluar dari acara pesta malam itu. Tidak ingin berlama-lama bertahan di sana.

Karna dia datang hanya untuk melihat wanita seperti apa yang dipilih Alkas.

"Sudah ingin pergi?"

Kaki Karra terhenti begitu menemukan seorang pria yang bersandar di kap mobilnya. Dengan kedua lengan yang terlipat di dada.

"Apa yang anda lakukan di mobil saya?"

"Menunggu mu. Apalagi?" Erik menegakkan tubuhnya. Melangkah ke arah Karra, berdiri tepat di depan wanita yang selalu memasang wajah datar di setiap pertemuannya.

"Jangan marah, aku hanya ingin menagih terima kasih dari mu. Bagaimana pun juga, aku sudah membantumu kan, tadi?"

"Saya tidak meminta anda untuk membantu saya."

Erik manggut-manggut. Sama sekali tidak terpengaruh dengan nada sarkas Karra. Dia malah terlihat begitu menikmatinya.

"Bagaimana caranya agar kamu mengucapkan terima kasih padaku?"

"Menjauh dari saya, maka saya akan berterima kasih untuk itu." Karra melewati Erik begitu saja. Masuk ke dalam mobilnya dan pergi.

Erik berdecak kagum, menggeleng dengan wajah geli. "Menarik." Gumamnya kemudian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wanita Terakhir; Karra (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang