6. Khawatir

275 19 8
                                    

"Apa ini karma? Dulu, aku juga anak nakal. Nggak pernah nurut sama orang tua, selalu nyusahin kak Tyara juga. Sampe akhirnya, anak-anakku juga lakuin hal yang sama, walaupun beda konteks. Ternyata secapek ini jadi orang tua."

Winda tersenyum kecil sambil mengusap belakang kepala suaminya, ketika laki-laki itu memeluk pinggangnya erat dan menyandarkan kepalanya di dada wanita itu, untuk mencari kenyamanan.

"Ada beberapa hal yang bisa kita kontrol, dan nggak bisa kontrol dalam kehidupan, termasuk mendisiplinkan anak-anak, agar mau menurut dengan ucapan orang tuanya."

"Menjadi orang tua emang nggak mudah, apalagi kalo anak-anak udah mulai beranjak dewasa. Tantangan jadi orang tua semakin besar, karena mereka ingin melakukan hal-hal baru sekaligus mencari pengalaman baru. Dan, disinilah orang tua harus bisa menempatkan dirinya. Kita emang nggak bisa kontrol mereka selama dua puluh empat jam, tapi, kita bisa jadi sahabat yang akan mereka cari, ketika mereka butuh didengarkan. Lalu, memberikan arahan kepada mereka dengan beberapa pilihan, dan segala konsekuensi dari pilihan yang mereka ambil."

Tangan Winda tidak berhenti mengusap lembut kepala suaminya, saat laki-laki itu hanya diam dan mendengarkannya.

"Aku udah pernah bilang kan, jadilah sahabat untuk anak-anak, ketika usia mereka mulai remaja. Saat anak-anak mulai tau apa itu cinta, rasa ketertarikan kepada lawan jenis, dan hal-hal yang dulu nggak boleh dilakukan, akan mereka lakukan ketika udah besar."

"Terkadang, menjadi egois emang perlu. Tapi, coba lihat diri sendiri, sukakah kita, jika orang lain melakukan hal yang sama kepada kita?"

"Aku nggak akan egois buat Harvey, karena dia cowok. Tapi, untuk empat putriku, aku nggak bisa. Aku nggak mau mereka ketemu cowok breng*** di luar sana. Air mata mereka terlalu berharga buat laki-laki yang nggak gentle, dan cuma bisa nyakitin cewek." balas Yudha.

"Terus, kenapa kamu malah nangis dan bilang, kalo kamu nyesel ngeliat hidup Raina sekarang, begitu tau Alin udah meninggal?"

Skakmat!
Yudha diam, tak bisa membalas ucapan istrinya.

"Pada akhirnya, keegoisan orang tua-lah yang membuat anak-anak menjaga jarak dengan kita. Bahkan, kalo mereka bisa menghindar, mereka akan menghindar! Sebenernya, anak-anak pun ingin egois. Tapi, mereka selalu ingat kasih sayang yang orang tua mereka berikan, karena ada rasa nggak tega dalam hati mereka."

Winda sedikit memberi jarak, agar Yudha bisa melihatnya. Dengan lembut, Winda mengusap kedua pipi suaminya dan tersenyum. "Aku berterima kasih sama kamu dan kak Tyara. Aku bisa menghargai keputusan kalian, yang ingin menjaga perasaanku. Tapi, sejak awal aku udah tau konsekuensi yang aku pilih, kalo nikah sama kamu, yang berstatus sebagai duda dengan empat orang princess."

"Akulah yang harus menyesuaikan diri sama empat princess, karena aku ketemu mereka disaat usia mereka udah mulai beranjak dewasa. Jadi, apapun masalah yang dihadapi oleh mereka dan kamu, sudah seharusnya aku juga ikut campur di dalamnya sebisaku. Jangan pernah sungkan. Aku justru seneng, kalo kalian selalu melibatkan aku disegala aspek, karena itu artinya aku udah jadi bagian dari keluarga kalian seutuhnya."

Yudha mengecup bibir Winda sekilas. "Makasih buat semuanya. Makasih, karena selalu ngerti. Maaf, karena aku sempet ragu. Aku cuma takut, kalo kamu bakal ninggalin aku, karena anak-anak ..."

Yudha tidak melanjutkan ucapannya, dan kembali mengecup bibir istrinya. "Aku nggak tau, atas alasan apa Tuhan ngirim wanita kayak kamu dalam hidupku. Tapi, aku sangat berterima kasih dan bersyukur karena Tuhan pilih kamu dalam hidupku."

Winda tersenyum tulus. "Mungkin karena tingkah kamu sekarang yang nggak jauh beda sama Harvey, kalo lagi pundung?" Ucapnya dengan becanda untuk mencairkan suasana.

Us, Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang