8. Baikan

247 23 2
                                    

Yudha membawa segelas jus mangga ditangan kiri, dan toples berisi kue kering, ditangan kanannya. Laki-laki itu meletakkan keduanya di atas meja, dimana di sebelahnya sudah ada kursi, yang ditempati Naina. Yudha ikut duduk di kursi yang kosong, menemani Naina yang tampak melamun memperhatikan kolam di bawah langit hitam yang pekat, karena hari sudah malam.

Tidak ada sinar rembulan malam ini, mungkin karena sedang musim hujan. Jadi, kolam renang tampak remang-remang, karena lampu taman yang hanya ada di beberapa sudut.

"Dulu, saat ayah tau, kalo bunda hamil anak kembar, ayah seneng banget. Apalagi, ternyata dapet princess lagi." ucap Yudha membuka pembicaraan.

Mata Naina hanya melirik sekilas ke arah Yudha.

"Dari situ ayah mikir, kalo ayah harus kerja keras buat jaga kalian semua. Tapi ternyata, cara ayah salah. Cara yang ayah pake cuma bikin kalian sakit, apalagi setelah ayah perhatikan hidup Raina sekarang. Ayah tau, kalo dia lagi pura-pura bahwa semuanya baik-baik aja. Tapi, ayah justru nggak bisa lakuin apa-apa. Ayah ngerasa nggak berguna."

"Naina ..."

Putri ketiganya itu menoleh.

"Maaf. Ayah mungkin nggak punya kosakata yang menenangkan, tapi, ayah nggak pernah suka liat anak-anak ayah sedih. Ayah minta maaf, karena ayah terlalu keras sama kamu dan yang lainnya. Saat ayah tau, ayah punya empat orang putri, ayah selalu khawatir sama kalian. Ayah takut, dimasa depan kalian akan disakiti sama orang, terlebih lagi sama cowok."

"Tapi, ternyata ayah salah. Bukan orang lain yang menyakiti perasaan kalian, melainkan ayah sendiri. Maafin ayah, karena sebelumnya, ayah tiba-tiba menghindar dari kamu ..."

Kepala Naina menggeleng pelan. Gadis itu beranjak dari duduknya, hingga Yudha pun ikut berdiri. Lantas, Naina memeluk Yudha dan mulai menangis. "Ayah nggak salah. Ayah adalah orang tua terbaik buat aku. Maafin aku, aku yang salah. Aku minta maaf! Rasa penasaranku sangat tinggi pas masih sekolah, makanya aku lakuin itu. Maaf ..."

"Kamu tau?"

Naina mengangguk. "Aku tau! Ayah pasti tau dari tante Tyara, kan? Aku bener-bener malu, aku minta maaf ayah. Ayah pasti kecewa sama aku, kan? Aku siap terima hukuman dari ayah, karena aku emang salah. Ini sepenuhnya salahku. Aku akui itu!"

"Ayah emang marah dan kecewa, tapi, bukan berarti ayah nggak bisa maafin. Ayah ke Swiss untuk menenangkan diri, karena ayah takut, kalo ayah ambil keputusan saat itu juga, pada akhirnya cuma bakal bikin kamu sakit hati. Sama kayak yang ayah lakuin ke Raina." Tangan Yudha terulur untuk mengusap lembut air mata Naina. "Kata bunda, saat anak-anak sudah mulai memasuki usia dewasa, maka peran kita sebagai orang tua adalah menjadi sahabatnya. Agar anak-anak selalu merasa nyaman untuk curhat dengan orang tuanya dan tidak akan jauh dengan kita, justru akan selalu mencari kita."

Kali ini, tangan Yudha mencoba merapikan rambut Naina. "Kamu sudah bukan anak kecil yang harus dihukum saat melakukan kesalahan. Kamu mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas itu, itu udah lebih dari cukup. Ayah hargai keberanian kamu."

"Ayah belajar banyak hal dari kalian, dan ayah sangat berterima kasih, karena kalian selalu berusaha mengerti dan menurut dengan ayah."

Naina menyembunyikan wajahnya di dada ayahnya, ketika Yudha kembali memeluknya erat.

"Maafin ayah ..." bisik Yudha.

"Maafin aku juga." balas Naina.

"Jangan nangis lagi."

Naina menggeleng dalam pelukan Yudha. "Nggak bisa! Kata-kata ayah terlalu so sweet. Aku terharu."

Yudha terkekeh kecil. "Bunda yang ngajarin soalnya."

Us, Again Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang