Raina memukul kepala Naina, ketika kembarannya itu baru saja menceritakan apa yang terjadi.
"Ngapain lo mukul-mukul kepala gue!" Protes Naina.
"Ya salah lo sendiri jadi gob***!"
"Apanya yang salah anj***!"
"Ya lo pikir aja sendiri! Si Jeano itu kena HIV, Na! H-I-V! Dan dia kena penyakit itu, karena kesalahan dia sendiri! Dan elo, dengan gob***nya masih minta kontaknya dia, dengan harapan, biar bisa balikan sama dia lagi suatu hari nanti? Otak lo kemana? Waras lo begitu?"
Bibir Naina mengerucut. "Emang apa salahnya coba?"
Mata Raina membulat sempurna mendengar ucapan Naina. Gadis itu bahkan meremat kedua tangannya, merasa gemas dengan tingkah Naina. "Lo lupa kalo bunda juga kena HIV, walaupun bukan murni kesalahan dia? Lo lupa, gimana kehidupan kita setelahnya? Bisa-bisanya lo masih nanya kenapa? Pake otak lo, Na!" Raina menunjuk-nunjuk kepala Naina dengan ujung jari-jarinya.
Bibir Naina melengkung ke bawah, gadis itu juga menatap kembarannya dengan pandangan memelas. "Terus gue harus gimana? Sampe sekarang gue masih sayang sama Jeano. Perasaan yang sama, yang lo rasain ke Alin, walaupun dia udah dipendem di tanah. Persis kayak gitu."
"Tapi, seenggaknya lo juga harus liat situasi! Nggak bisa hanya karena lo udah cinta, lo bakal lakuin apapun biar bisa sama dia, gimanapun caranya! Itu namanya gob*** tau nggak! Pake otak lo! HIV itu bukan penyakit yang setara, kayak lo abis kehujanan, terus demam, minum obat sekali langsung sembuh! Enggak! Itu penyakit mematikan dan menular!"
"Jadi, please ... tolong banget lo pikir-pikir lagi keputusan lo! Lagian, si Jeano kayaknya juga udah tau hidupnya bakal gimana! Jangan cuma pake hati, tapi pake otak lo juga! Jangan jadi bulol seakan-akan cowok cuma dia, dan hidup-mati lo sama dia! Inget, masih banyak hal yang bisa lo lakuin! Hal, yang jauh lebih berguna, daripada lo nungguin Jeano sampe sembuh, dimana hal itu juga kayaknya nggak mungkin! Lo cuma buang waktu! Jadi, sebelum lo nyesel, mending jangan! Cukup temenan biasa aja dan support dia sebisa lo! Nggak perlu berlebihan!"
Naina hanya diam, mencoba mencerna ucapan Raina.
"Coba lo pikir, om Juan sama tante Tyara aja ngusir dia, padahal dia anak kandungnya. Dan elo, yang cuma sepupunya, juga mantan pacarnya, tiba-tiba dateng dan sok mau jadi pahlawan buat nemenin dia? Na, lo itu model, bukan pelawak! Artinya, yang lo lakuin, jelas nggak lucu! Jadi, kalo lo mau nemenin Jeano sampe dia sembuh, sama aja kayak lo lagi nungguin mayat hidup, yang bisa mati kapan aja tau, nggak!"
"Tapi, gue juga kasian sama dia tau! Gimana kalo ternyata, selama ini Jeano kesulitan sama hidupnya dia, terus nggak ada yang nolongin? Ok, fine! Lupakan, soal gue pernah jadi pacarnya dia. Tapi kan, dia juga masih saudara kita, Ra. Emang hati nurani lo nggak kasian gitu, ngeliat saudara sepupu kita kesusahan? Nggak mungkin kan, lo diem aja? Lo pasti ngerasa kasian, kan? Iya, kan?"
Raina memandang tajam ke arah Naina. "ORANG YANG LO KASIHANI ITU MOBILNYA CIVIC ANJIR! HARUSNYA LO KASIHAN SAMA KITA, BUKAN JEANO! BAHKAN, RUMAH INI JUGA HARGANYA NGGAK BISA BUAT BELI ITU CIVIC! KITA KERJA DARI SIANG SAMPE GUMOH JUGA NGGAK BAKAL KEBELI ITU CIVIC! PALING MEMUNGKINKAN BIAR KITA BISA BELI CIVIC JUGA HARUS NGEJUAL ASET PUNYA AYAH, DISAMBI JADI BAYI GULA! ITUPUN KALO NGGAK KETAHUAN AYAH, KARENA TARUHANNYA NYAWA!"
"Makanya itu... gue makin nggak mau lepasin dia. Yaaahhh, walaupun gue ngerasa sakit hati karena dia gay dan sekarang kena HIV. Gue kecewa sama Jeano, tapi ... hartanya terlalu sayang buat ditinggalin, dan dianggurin gitu aja, Ra ..." ujar Naina memelankan suaranya saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Terus, lo tetep mau mepetin dia? Ntar, kalo lo udah ketularan HIV, baru deh, lo nangis-nangis! Lo mau hidup begitu? Na, kalo lo udah capek sama hidup, nggak gini caranya!"
"Terus gimana?"
"YA MANA GUE TAU! HIDUP JUGA, HIDUP LO! NANYA GUE, LO!" Semprot Raina.
Naina berdecak, lalu menggeser duduknya dan memeluk Raina dari samping. Dagunya pun, ia tumpangkan pada bahu Raina. "Gue sayang sama Jeano dan hartanya, Ra. Gue harus gimana coba?"
Tanpa perasaan, Raina mendorong tubuh Naina, hingga kembarannya itu mengaduh, ketika punggungnya terantuk sandaran sofa.
"Nyesel banget gue berbagi rahim sama lo!" Hardik Raina, lalu pergi begitu saja meninggalkan Naina di sofa yang berdecak kesal.
"GUE SAYANG JEANO, RA!" Seru Naina nyaring
"BACOT LO! BALIK SANA KE KANDANG LO!" Balas Raina, tak kalah nyaring.
***
Naina bertopang dagu di atas kedua lututnya yang ia tekuk, sambil mengetuk-ngetuk layar ponselnya, yang menampilkan nomor telepon Jeano. "Aku kangen kamu. Telpon nggak, ya?"
"Tapi, ntar aku ngomongin apa coba? Masa iya, langsung bilang kalo kangen? Dih, kayak cewek apaan! Jijik banget! Murahan!"
Naina merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Pandangan matanya jauh menerawang, mengingat hal apa saja yang pernah ia lakukan bersama Jeano dulu. "Coba aja, dulu gue nggak ngelakuin hal kayak gitu. Coba aja, waktu itu tante Tyara nggak tau. Coba aja, dulu gue jadi anak baik, anak yang selalu nurut apa kata ayah. Coba aja, gue nggak terlalu penasaran. Semuanya pasti nggak akan jadi kayak sekarang. Emang bener ya kata orang, penyesalan itu selalu datang belakangan."
"Lo juga nih!" Naina menunjuk pada dada kirinya. "Kenapa sih, lo cuma suka sama Jeano? Padahal banyak model cowok yang deketin lo, yang jauh lebih ganteng, lebih tajir, lebih tinggi, pokoknya lebih segala-galanya dari Jeano! Lo juga bisa nunjuk siapa aja buat jadi pacar lo, Na! Tapi kenapa? Kenapa lo cuma suka sama Jeano, hah? Apa yang lo liat dari dia? Apa coba? Gemes gue lama-lama sama lo!"
Tangan Naina berganti mengacak-ngacak rambutnya. "JEANO KURANG AJAR! LO BIKIN GUE GILA!"
"KAKAK! KATA BUNDA JANGAN TERIAK-TERIAK, UDAH MALEM!"
Naina menutup mulutnya, ketika mendengar suara Harvey yang ikut berteriak nyaring.
Tubuh Naina tegak sempurna, ketika Yudha tiba-tiba saja membuka pintu kamarnya.
"Ngapain sih, malem-malem teriak-teriak manggil Jeano! Berisik kamu, tuh! Katanya besok ada jadwal pagi, tidur sana!"
"Ngegas amat, Yah! Iya-iya, maaf ... kelepasan tadi."
"Adek nggak jadi tidur gara-gara kamu teriak-teriak nggak jelas! Ganggu aja!" Seru Yudha benar-benar merasa kesal.
"Kan, aku udah minta maaf! Lagian kesel amat, orang cuma teriak bentar doang!" Cibir Naina.
Yudha mengusap kasar kepalanya. "Kamu mah nggak bakal ngerti, soalnya belom nikah! Jadi nggak tau rasanya lagi pengen, tapi masih ada bocil! Udah sana tidur! Awas aja teriak-teriak lagi!"
"Salah sendiri, Harvey nggak dibiasakan tidur sendiri dari kecil! Dimanja, sih! Nyesel sendiri kan, akhirnya!" Balas Naina.
"Tidur!" Seru Yudha, sebelum menutup pintu kamar Naina dan kembali ke kamarnya sendiri.
"Dasar orang tua nggak sadar umur! Udah mau punya cucu, bisa-bisanya hormonnya masih ada." Cibir Naina, lalu mengunci pintu kamarnya.
"Besok lagi ya, Jeano. Besok, kalo waktuku udah luang, kita kangen-kangenan lagi. I miss you ... good night." Naina berucap pada nomor kontak Jeano dengan mengusap layar ponselnya lembut, memperlakukan kontak Jeano seperti bayi.
Hhh...
Cinta memang buta.
Seseorang yang sudah salah pun, terlihat sangat berjasa dimata orang yang sedang jatuh cinta.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Us, Again
FanfictionNOMIN GS LOKAL!!! DISARANKAN UNTUK MEMBACA BOOK "BABY HARVEY" SAMPAI SELESAI DI KBM SUPAYA ALURNYA MUDAH DI MENGERTI 😊 AYO BELAJAR MENGHARGAI SEBUAH KARYA, DENGAN FOLLOW, VOTE & KOMEN!!! KARENA SEMUA ITU GRATIS!!! 🥰 Sampai saat ini, Naina masih m...