gara-gara vas

160 13 0
                                    

Jemari tangan miliknya menjambak rambut pirang itu dengan kasar. Seorang pria duduk menghadap jendela. Wajahnya suram. Rambut pirang yang biasa di gel terlihat berantakan. Pria itu mengernyit. Kesal pada dirinya sendiri.

Mengapa ia menjadi laki-laki tak berguna?

Porco mengambil ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Tangannya dengan cepat membuka aplikasi pesan singkat yang sedang tren. Mengetik sebuah kalimat. Lalu menghapusnya kembali.

Porco terus mengulang-ulangnya sampai ia menyerah. Frustasi. Ia melempar sembarang ponsel itu dan kembali menjambak rambut.

Sama sekali bukan karakterku, batin Porco menggeram.

Menghembus napas frustasi, Porco kembali menatap ponsel yang teronggok di atas lantai. Bayangan gadis berambut hitam dengan wajah mengamuk terlintas dalam pikiran.

"Arrghh!"

Porco meninju dinding kamar yang menjadi kamar mereka berdua.

Bagaimana harus mengatakannya? Bagaimana kalau Pieck sampai tahu?

Tidak. Pieck tidak boleh mengetahuinya. Ia harus menjadi orang pertama yang memberi tahu Pieck. Bisa gawat, kalau Pieck sampai tahu. Habis sudah riwayatmu!

Porco meringis kesakitan. Tangannya terasa berdenyut dan nyeri. Mendesis pelan, Porco mengangkat tangannya. Melihat telapak tangannya yang memerah dan bengkak. Darah mulai mengalir di buku-buku tangannya.

Raut wajah Porco sudah suram, semakin suram. Bak jatuh tertimpa tangga. Nahas, sekali nasibnya. Porco mengasihani nasibnya.

Porco melebarkan mata. Matanya tampak berbinar. Sebuah ide terlintas dalam pikiran. Bola matanya bergulir, menatap jam dinding di atas pintu. Senyum lebar menghias di wajahnya. Porco sudah mendapat jalan keluar dari permasalahan ini.

Nasib baik berpihak pada Porco begitu cepat. Pieck membuka kamar mereka. Porco yang masih terduduk itu, berpura-pura mengaduh kesakitan. Memegang telapak tangannya yang nyeri dan bengkak.

Pieck yang baru saja pulang, melebarkan mata dan berlari menuju Porco dan bersimpuh di lantai. Raut wajahnya tampak khawatir. Kedua telapak tangan Pieck memegang tangan Porco yang terluka dengan hati-hati.

"Kenapa tanganmu seperti ini?"

"Uhm..."

Pieck menengadahkan wajahnya. Menatap Porco yang tampak meringis. Dengan hati-hati, Pieck membuka telapak tangan Porco yang terkepal. Membuat si pria mengerang kesakitan.

"Sstt... tahan sebentar. Aku ambil kotak obat."

Pieck pergi keluar mengambil kotak obat. Porco menarik napas. Tanpa sadar, ia sudah menahan napas saat Pieck membuka pintu. Pikirannya kalut. Bagaimana cara menyampaikan ke Pieck, agar dia tidak marah?

Pieck datang kembali dengan membawa kotak obat, lalu duduk bersimpuh dan menuangkan cairan antiseptik di atas kapas. Mengelap luka di buku-buku tangan Porco. Porco mengamati gerak-gerik Pieck dengan kagum. Namun, hatinya merasa bersalah atas apa yang ia lakukan sebelumnya.

Menghela napas, "Apa yang terjadi?" Pieck bertanya sembari membersihkan luka di telapak tangan si pria.

Porco diam. Merangkai kata yang akan ia ucapkan. Berusaha agar tidak menyinggung Pieck. Kedua alisnya tertaut.

"Hanya kesal," jawab Porco singkat.

Pieck menaikkan alis. Mengalihkan pandangannya pada wajah Porco, "Kesal? Dengan siapa?" tanya Pieck lembut.

Porco susah payah menelan saliva. Ia gugup sekarang. Pieck memencet salep pereda bengkak di telapak tangan Porco, lalu mengoleskan perlahan. Membuat Porco mendesis.

A  Prompt Collection of PokkoPiku [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang