Dua Tahun Perjalanan

1K 49 4
                                    

Aku mendengar ini dari televisi. Seorang influencer terkenal itu malah menjadi tersangka terorisme. Jargonnya masih mendengung jelas di pikiran orang-orang.

"Makanya jangan miskin" ujarnya kerap kali di setiap kesempatan. Dia wanita cantik, bahkan sangat cantik. Tingkahnya juga tak kalah menarik, dia pandai memainkan perasaan penontonnya hingga tak heran bisa mendapat penggemar sebanyak itu.

Dia adalah Halida, dua tahun yang lalu aku juga terseret dalam konspirasinya. Waktu itu aku masih terlalu naif, tertarik dengan kode-kode dan berharap bisa menjadi detektif seperti di film-film.

Siap sangka dunia menampakkan sesuatu tak terduga. Wanita cantik ini sekarang sudah tak ikut dalam perputaran dunia ini. Dunia masih berlanjut, tapi dunianya sudah runtuh.

Hidupnya berakhir saat timah panas itu menembus jantung. Jika aku tak salah, itu adalah hari yang sama dengan pria yang bercinta dengannya dulu. Keduanya sekarang menjadi mayat, dikubur dan disumpah. Mereka tak akan dilupakan sebagai dalang yang membawa lari uang ratusan triliun itu.

"Vasco, kau masih memikirkan kejadian dua tahun lalu?"

Orang yang bertanya itu adalah ayahku, dia ada di rumah sekarang. Sudah tak terlalu sibuk seperti dulu, toh tak ada kasus besar juga.

"Tidak, tidak terlalu" aku menimpali. Bukan berarti tak terpikirkan, tapi bukan itu masalahnya.

Aku tak peduli dengan mereka, aku hanya tertarik pada misteri takdir ini. Tentang seseorang yang memiliki segalanya, malah menjadi mayat dan mungkin sudah membusuk sekarang. Dia ditanam di tanah gembur itu dan bisa saja sudah menjadi santapan cacing di sana.

"Kau sudah jauh berubah ya, Vasco" Ayahku tampak tersenyum tipis. Perkataannya ambigu, aku tak tahu perubahan mana yang ia maksud.

"Maksud papa?" Aku memanggilnya papa, terdengar seperti anak manja memang. Namun apa salahnya? Toh ini bukan era kolonial lagi, semua sudah modern dan panggilan ini juga sudah menjamur.

"Semuanya. Tubuhmu sekarang lumayan berotot, kau juga sudah sangat tinggi" Dia mengibas koran yang tengah dipegang itu.

Sulit rasanya melihat orang yang masih baca koran di zaman sekarang.

"Kenapa papa masih baca koran?" tanyaku. Aku sengaja menghindari pernyataan ayahku tadi. Lagi pula siapa yang tak malu saat dipuji begitu.

Aku melihat senyum tipis itu, tampaknya ayahku tahu kalau aku sengaja menghindar dari pernyataan tadi.

Bukannya tak bersyukur, cuma malu saja. Aku yang dulu kerempeng, sekarang malah terlihat bugar begini. Aku sendiri tak menyangka kalau perubahan pola kesehatan akan berpengaruh bagi fisik seperti ini.

Seperti yang ayahku katakan, dua tahun yang lalu adalah peristiwa yang cukup membekas. Meski tak sampai membuatku trauma, namun itu memberikan pelajaran yang berharga. "Jangan angkuh" itulah pelajaran yang kudapat.

"Kau tanya kenapa papa baca koran? Ada hal yang unik dengan kontak fisik ini. Sensasi ini tak akan didapat saat kau membaca menggunakan ebook reader itu" terangnya.

"Oh, ya Vasco. Bagaimana dengan Halim?" Ayahku mengubah topik pembicaraannya.

"Halim, ah ya. Dia akan kesini nanti"

"Hmm, temanmu satu-satunya kan?" ayahku tersenyum lagi namun kali ini seperti mengejek.

"Siapa bilang, aku sudah berteman dengan semuanya" Aku tak mau dianggap seperti Vasco yang anti sosial lagi.

Berteman itu cuma perihal keberanian. Berani menyapa dan tanpa sadar aku sudah berteman dengan semuanya. Untunglah aku cepat sadar, jika tidak masa SMA ini akan berakhir tanpa seorang teman pun.

Detektif Kode #2: NFT SilumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang