5

752 162 31
                                    


"Tumben Mas Bram nemuin aku di kantor?"

Liana dan Bram duduk di kantin kantor yang ada di lantai dasar.

"Kamu baik-baik saja kan sama suamimu?"

Bram mengaduk es teh manis yang sebenarnya tak harus ia aduk.

"Iya, baik-baik saja, memang ada apa? Apa kerjaan Mas Agus berantakan?"

"Sebulan sudah dia kerja di aku, karena aku melihat kamu maka aku tempatkan dia di posisi yang nggak sulit, dia nggak kerja sendiri, ada anak buahnya atau semacam staf yang bantuin dia dalam pengawasan ke luar dan masuknya barang, jadi dia lumayan banyak nganggurnya sebenarnya dan maaf kamu nggak sering nelepon suamimu kan saat kerja malam?"

Liana menggeleng pelan, ia mulai menikmati sotonya saat makanan yang pesan datang.

"Sambil makan Mas."

Bram mengangguk dan mengaduk koya agar menyatu dengan kuah soto.

"Aku pasti sudah tidur jam-jam segitu dan aku bukan wanita yang terbiasa menelepon suami saat dia kerja."

"Aku secara tak sengaja mendengar percakapan dia entah dengan siapa, aku berdiri pas di belakangnya saat dia duduk di pos kerjanya sambil mengawasi anak buahnya bekerja, dan dia sampai tak sadar jika ada orang di belakang kursinya, aku pikir kamu yang dia ajak bicara, tapi lama-lama kok rasanya aneh, kayak orang pacaran karena panggil sayang-sayang gitu."

Dan Liana tersedak seketika, ia raih es teh yang ada di depannya dan ia teguk.

"Mas Bram nggak salah dengar kan?"

Bram menggeleng, ia meraih tisu dan menyerahkan pada Liana untuk mengusap bibirnya dari sisa-sisa teh yang ia minum.

"Satu kali aku pikir telingaku yang salah, aku penasaran makanya aku lakukan lagi cara agar aku mendengar apa yang ia bicarakan saat dia mojok,  mulai menelepon dengan asik hingga tak peduli sekitarnya dan maaf terakhir malah omongannya mengarah ke pembicaraan yang tak layak aku ceritakan ke kamu."

"Maksud Mas?"

"Tentang nikmatnya berhubungan badan."

Dan Liana betul-betul merasa sesak dadanya.

"Aku bukannya mau merusak keharmonisan keluarga kamu, tapi aku kasihan sama kamu karena selama ini aku melihat kamu tulang punggung keluarga, jangan libatkan cerita lama kita, meski sampai saat ini aku belum menikah bukan berarti aku menunggu jandamu, tidak Liana, aku sudah seperti adik bagiku, jadi aku membuka ini semua agar kamu tidak tersakiti, agar kamu mulai membuka mata ada apa dengan rumah tanggamu."

Tak terasa air mata Liana sudah memenuhi matanya.

"Lalu siapa wanita itu ya Mas?"

"Kita cari tahu pelan-pelan, jangan gegabah, jangan sampai anak-anakmu tahu dan merasakan kesedihan kamu."

.
.
.

Di sebuah hotel terlihat Agus yang mengobati luka-luka di tubuh Ranti. Semalam saat Ranti berhubungan dengan Gandi tak sadar ia menyebut nama Agus dan Gandi menjadi murka. Ia menyakiti Ranti selama semalaman berhubungan badan.

"Kamu goblok amat! Laki-laki kayak gitu masih kamu layani, apa nggak cukup aku yang memuaskanmu?"

"Uangmu nggak cukup memuaskan aku, apa kamu sanggup memenuhi semua kebutuhanku?"

Agus diam saja ia masih memberi salep ke beberapa bagian di tubuh Ranti.

"Kalo aku berikan semua gajiku padamu apa kamu bisa berhenti melayani dia? Siapa sih dia?'

"Kamu nggak ada apa-apanya, ia turuti semua kemauanku, baginya 10 juta itu kecil, sedang kamu?"

"Gajiku masih 3 juta karena aku baru kerja."

Ranti terkekeh sambil sesekali mendesis sakit saat Agus memberikan salep pada beberapa luka memar di tubuh Ranti.

"Tiga juta itu hanya dua tiga hari bagiku, sudahlah kita jalani saja seperti biasa toh kamu harusnya ya diam saja, kan kamu nggak aku minta bayaran tiap kali kita sama-sama enak karena aku juga butuh kamu."

Agus memeluk Ranti setelah selesai mengobati lukanya.

"Kamu nggak bilang Kak Liana kalo kamu nginep di sini?"

"Udahlah nggak usah ingat-ingat itu, kita nikmati malam ini berdua di hotel ini, kamu masih bisa kan meski beberapa bagian luka dan ..."

"Untuk kakak ipar gila aku selalu bisa, yang sakit kan badan aku, bukan itu."

Keduanya terkekeh lalu tak lama kamar hotel telah penuh dengan desah juga erangan keduanya.

.
.
.

Liana terlihat resah saat pulang sejenak ke rumahnya di jam istirahat siang tapi tak menemukan suaminya di rumah.

"Bi, Mas Agus nggak pamit ke mana?"

"Saya malah sampai di rumah tidak bertemu siapapun Bu, Dik Ranti juga tidak ada."

"Oh kalo Ranti hari ini ada jadwal kuliah, tadi pagi sudah nelepon saya, setelah nginap di rumah temannya dia ke kampus."

"Telepon aja ke kantornya Bu, siapa tahu bapak ada kerjaan lagi."

"Nggak enak Bi, kan aneh istri nggak tahu keberadaan suami."

"Kenyatannya ibu memang tidak tahu karena bapak tidak pamit."

"Ya sudah saya tak balik ke kantor dulu Bi."

"Iya Bu."

Bi Ica menatap kepergian Liana dengan hati resah, ia ikut merasakan kegalauan hati Liana.

"Kok aku curiga dua orang pergi bareng, semoga segera terbuka semuanya, kasihan Ibu."

.
.
.

Malam hari ...

"Mas ke mana saja? Kenapa jam segini baru balik ke rumah? Ke mana saja sepanjang hari? Biasanya pagi-pagi Mas sudah ada di rumah sebelum aku dan anak-anak berangkat ke kantor, ini malah saat mau Mas berangkat kerja baru pulang ambil baju ganti?"

Agus menatap mata Liana dengan tatapan marah.

"Kamu kok jadi cerewet sekarang? Banyak berubah kamu? Kamu yang dulunya nggak banyak omong jadi cerewetnya nggak ketulungan!"

"Karena Mas juga berubah, apa salah aku yang istri Mas khawatir? Nggak bilang ke mana tiba-tiba saja ngilang dan saat akan kerja baru muncul."

"Aku nggak mau rame jangan sampai aku lepas kendali!"

"Aku mengkhawatirkan Mas apa aku salah? Lalu aku mau tanya, ke mana gaji Mas? Kan Mas sudah kerja? Aku istri Mas berhak bertanya!"

Agus mendekat, wajahnya memerah.

"Aku baru bekerja, jika sekali saja aku menikmati gajiku apa aku salah?"

"Ya salah, ada hak kami, anak dan istrimu dalam penghasilan Mas, berikan dulu padaku jika Mas memang perlu silakan ambil untuk keperluan Mas, bukan tanpa kabar apapun lalu gaji itu jadi nggak jelas."

"Betul-betul berubah kamu! Jadi wanita pelit dan kikir pada suamimu sendiri!"

"Sedang Mas sendiri gimana? Apa sudah cukup memberi kami makan? Pakaian? Apa tidak cukup selama ini menjadi beban bagi aku selama Mas nggak kerja?"

Plak!!!!

Dan Agus kaget saat ia melayangkan tamparan pada Liana. Tak kalah kagetnya Liana memegang pipinya yang terasa panas. Matanya seketika basah.

"Ini yang kamu berikan? Setelah menghilang seharian tanpa kabar? Dengan wanita mana Mas pergi? Lihat leher Mas! Sampai merah seperti bekas gigitan? Siapa wanita itu hingga berani Mas menampar aku?"

Dan Agus segera ke luar dari kamar setelah ia mengambil baju kerjanya.

"Aku nggak ikhlas kalau Mas sampai menduakan aku dan anak-anak demi orang lain!"

🔥🔥🔥

4 Januari 2023 (04.39)

Tangis Terakhir (Tak Ada Lagi Lara Karena Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang