7

748 180 32
                                    


"Mas, kita perlu bicara! Mas lebih sering nggak pulang! Membiarkan rumah tangga kita semakin nggak jelas!"

Agus menghentikan langkahnya, ia menoleh pada Liana dengan wajah marah. Agus baru saja masuk ke rumah setelah pulang dari tempat ia bekerja.

"Gak ada yang perlu kita bicarakan lagi!"

"Lalu apa gunannya kita menjadi suami istri kalo Mas kayak gini?"

"Ya sudah kita cerai saja?"

Liana terperangah, tak percaya kata-kata itu terucap dari laki-laki yang telah menikahinya selama 9 tahun.

"Mas! Mas sadar apa yang Mas ucapakan?"

"Sadar! Aku sepenuhnya sadar, buat apa kita lanjutkan rumah tangga jika tak ada kecocokan?"

"Papa."

Suara Ayu yang hampir jarang terdengar tiba-tiba saja muncul diantara pertengkaran di pagi hari itu.

"Baik, jika ini yang Mas inginkan akan aku urus secepatnya, aku hanya nggak nyangka demi wanita nggak jelas Mas membuang kami bertiga!"

"Lebih cepat lebih baik! Aku juga dah nggak betah di sini!"

Agus menepis tangan anaknya saat hendak memegang tangannya, Ayu mulai menangis saat melihat Liana yang menahan tangis sedang Agus segera masuk kamar dan ke luar lagi entah ke mana.

Tak lama Bi Ica segera menggendong Ayu, membawanya ke belakang sebentar namun Liana segera menyusul.

"Saya berangkat Bi, biar anak-anak nggak masuk dulu, mereka juga nggak akan konsen kalo sekolah, Adel juga nggak mau ke luar dari kamarnya itu, biar saya bujuk ke rumah ibu saja."

"Mereka mendengar tadi Bu, saat Ibu rame sama Bapak."

Bi Ica semakin merasa bersalah, ingin rasanya mengatakan apa yang ia tahu tapi lagi-lagi lidahnya terasa Kelu.

"Saya berangkat Bi."

Dan Liana meraih Ayu dari gendongan Bi Ica.

.
.
.

Sekitar jam sembilan Ranti datang, ia terlihat lelah karena semalaman ia berada di apartemen Gandi dan pagi-pagi dia harus kuliah. Tak lama Agus datang dan langsung memeluk Ranti.

"Aku lelah."

"Ck, kalo melayani yang ada uangnya kamu nggak capek."

Agus menggendong Ranti menuju kamarnya dan tak lama terdengar desah keras Ranti, diiringi sesekali jeritan Ranti dan geraman keras Agus.

Dari arah dapur terdengar helaan nafas Bi Ica, lagi-lagi ia merasa berdosa ikut melindungi keduanya hingga terjadi keributan seperti pagi tadi karena suami majikanya yang semakin tergila-gila pada iparnya.

Dan alangkah kagetnya Bi Ica saat mendengar suara deru mobil yang berhenti di luar sana. Ia segera bergegas lewat pintu samping.

.
.
.

Liana bergegas pulang saat beberapa dokumen yang ia pelajari semalam tertinggal di rumahnya, ia tak ingin pimpinan perusahaannya menegur karena kelalaiannya. Semuanya tertinggal gara-gara tadi pagi ia bertengkar dengan suaminya dan wajah Liana menjadi keruh lagi.

Saat sampai di depan rumahnya ia kaget melihat motor suaminya terparkir di luar pagar. Liana mengerutkan kening karena ia ingat setelah pertengkaran tadi pagi suaminya pergi begitu saja tanpa pamit.

Belum sempat ia masuk, langkahnya ditahan oleh panggilan pelan Bi Ica dan menahan lengannya untuk melanjutkan langkahnya.

"Ibu, Ibu ada apa kembali? Apa yang ingin Ibu ambil biar saya ambilkan?"

"Dokumen penting Bi, biar aku ambil sendiri."

"Tapi Bu ..."

Liana melanjutkan langkah, membuka pintu rumahnya dan bergegas ke kamarnya tapi ia merasa aneh, melihat sepatu kerja suaminya yang tercecer seolah dibuka asal dan dari arah kamar adiknya ia mendengar suara-suara mencurigakan. Entah mengapa dadanya berdegup kencang. Jam-jam seperti sekarang adiknya tidak seharusnya berada di rumah, biasanya ia berkuliah, tak mungkin ia masih di kamarnya dan malah sesekali berteriak tak jelas.

Liana melanjutkan langkahnya dengan pelan, ia buka heelsnya dan berjalan berjinjit menuju pintu kamar yang tak sempat tertutup rapat. Dan darahnya seketika naik, tubuhnya bergetar hebat, ia mendengar suara desah dan erangan suaminya juga jerit manja adiknya, dengan sekali dorong pintu berwarna putih itu, ia melihat pemandangan yang tak pernah terlintas dalam pikirannya. Suami dan adiknya tumpah-tindih tanpa sehelai benangpun. Dada Liana sungguh terasa dihimpit baru besar, tak ada dalam pikirannya adiknya sendiri yang telah menjadi wanita lain dalam kehidupan rumah tangganya. Adik yang ia cintai, adik yang ia lindungi kini malah merusak rumah tangga yang sudah payah ia bangun

Dan Liana meraih apa yang ada di dekatnya, ia lemparkan pada dua orang manusia tak tahu diri dengan sekuat tenaga.

"Pergi kalian dari sini! Ke luar dari rumahku! Aku tak ingin benalu seperti kalian mengotori rumahku! Pergi manusia laknat! Laki-laki brengsek, wanita murahan memang cocok kalian berdua, sama-sama setan! Aku tak menyangka jika adikku yang menjadi setan dalam rumahku sendiri!"

Agus mendorong Liana hingga terjatuh dan kesempatan itu ia gunakan untuk melarikan diri dengan Ranti meraih apa yang bisa diraih dan ke luar secepatnya dengan baju seadanya.

Sedang Liana menangis meraung hingga datang beberapa tetangga yang ikut menenangkan, beberapa dari mereka menyalahkan Bi Ica yang dituduh ikut bersekongkol karena tak mungkin keduanya baru punya hubungan, pasti terjadi berulang dan berulang, hanya baru kali ini keduanya tertangkap basah. Bi Ica bersujud di kaki Liana meminta maaf sambil menangis, semua itu ia lakukan bukan melindungi Ranti dan Agus tapi lebih pada menjaga ketenangan rumah tangga majikannya, tapi nasi sudah menjadi bubur, semua sudah rusak dan tak mungkin akan kembali lagi pada kondisi semula.

.
.
.

"Gimana ini? Masa kita tinggal di sini? Kosan dua ratus rebu sebulan? Mana kamar mandi luar lagi, ini kamar sempit? Gak ada AC hanya kipas angin yang udah bunyi kriek-kriek? Aku bisa kepanasan."

Ranti tampak bersungut-sungut tak betah, ia mulai terlihat resah, sedang Agus berusaha menenangkan wanita yang tak akan ia lepaskan sampai kapanpun, ia rela mengorbankan semua, termasuk menjauh bahkan berpisah dari anak istri.

"Tenang dulu, ini kita lakukan sementara, yang penting malam ini kita bisa tidur dulu, ada tempat bernaung, lagian kalo di hotel uang yang mana lagi, kan sudah habis semua uangku, untuk jajan kamu, untuk beli baju dan ..."

"Uang berapa sih yang kamu kasih? Cuman tiga juta, lalu uang lembur kamu yang cuman beberapa ratus, itu cuman buat jajan bukan baju, makanya kamu cari uang lagi, aku nggak mau hidup susah, meski kamu bisa muasin aku ya aku nggak kuat juga kalo hidup kere kayak gini, mending kita tinggal di rumah orang tuaku yang dulu aku tinggalin sebelum tinggal sama Kak Liana."

.
.
.

Bram hanya bisa tertegun menatap mata sembab Liana, yang tak henti menangis karena benar-benar tak masuk akal dan tak bisa dipercaya, bagaimana mungkin adik yang ia cintai, ia biayai, tega menikamnya dari belakang, merebut suaminya yang sejak awal mereka seolah bermusuhan, ternyata di belakangnya keduanya malah mengkhianatinya dengan cara menyakitkan.

"Tenangkan dulu pikiranmu Liana, aku sudah menemui bosmu, agar kamu diijinkan tidak masuk selama tiga hari."

"Bagaimana aku bisa tenang Mas, adikku sendiri yang ternyata menjadi wanita lain dalam kehidupan rumah tanggaku, mengapa ia setega itu padaku? Apa tak ada laki-laki lain hingga suami kakaknya yang ia rebut?"

💔💔💔

8 Januari 2023 (19.07)

Tangis Terakhir (Tak Ada Lagi Lara Karena Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang