Agus baru saja sampai di depan rumahnya. Ia cukup kaget baru seminggu ia ke luar dari rumah itu ternyata sudah ada orang asing yang menempati. Ada rasa marah dalam hati Agus karena secepat itu Liana sudah menyewakan pada orang lain, ia sebagai suami juga punya hak tahu pada siapa rumah itu disewakan. Masalahnya ia tak tahu Liana dan anak-anaknya ada di mana.
Agus akan menemui Bram, akan bertanya pada laki-laki itu di mana keberadaan Liana dan anak-anaknya. Akan ia tagih bagiannya, meski rumah itu berasal dari uang Liana tapi rumah itu dibeli saat mereka sudah menjadi suami istri artinya ia berhak mendapatkan bagian.
"Atau jangan-jangan Bram yang menyembunyikan Liana dan anak-anak, dasar bujang lapuk, aku yakin dia satu-satunya orang yang berbahagia dengan perpisahan kami, aku tak peduli, sekarang yang jadi pikiranku hanya Ranti karena ia sedang mengandung anakku, ke mana dia? Sejak kemarin tak ada kabar."
Baru saja Agus selesai bergumam tak jelas tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Ia lihat ada nama Ranti dan ia segera menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
"Ya Sayang?"
....
"Hah! Rumah sakit? Kamu siapa? Hei! Heeeei."
Dan Agus sungguh kesal, bingung dan marah saat suara laki-laki di ponsel Ranti tiba-tiba memutuskan pembicaraan setelah memberi tahu jika Ranti ada di rumah sakit.
"Brengsek! Pasti laki-laki itu! Kalo sampe Ranti kenapa-napa, kau bunuh dia!"
Dan Agus segera memacu motornya menuju rumah sakit yang disebutkan oleh Gandi.
.
.
."Mama."
Dan Liana menghentikan menatap laptop, menatap wajah lugu Ayu yang berjalan pelan menuju tempat ia duduk di dekat jendela dengan meja kerja sederhana.
"Iya Sayang, nggak main sama Kak Adel?"
Ayu mendekat ke arah Liana dan Liana meraih tubuh mungil Ayu, mendudukkan di pangkuannya.
"Ayu senang papa nggak di sini."
Suara Ayu dan kalimat yang ia ucapkan membuat mata Liana memanas.
"Nggak boleh gitu, papa Agus kan papanya Ayu."
"Tapi papa nggak sayang Ayu dan Kak Adel, papa sayang sama tante Ranti, Tante dipangku papa, Ayu nggak."
Dan dada Liana menjadi sesak, ia usap rambut pendek Ayu.
"Tante sakit, Sayang, makanya dipangku sama papa, kapan Ayu lihat?"
"Lupa, tapi trus Ayu sama Kak Adel dijemput Om Rahmad main ke rumah nenek."
Liana memejamkan matanya, ia ingat waktu itu ia sempat bertanya mengapa anak-anak ada di rumah ibu mertuanya, alasan suaminya karena anak-anaknya ingin bertemu neneknya, ternyata itu semua hanya alasan agar mereka bisa bermain api di belakangnya. Kini Liana hanya mampu menyesali kebodohannya,. Ketidakpekaannya terhadap perilaku adik dan suaminya. Ia peluk Ayu yang tiba-tiba saja menangis, anak keduanya yang sangat pendiam dan jarang berbicara, mungkin ia merasakan apa yang ia rasakan.
.
.
."Silakan duduk."
Bram menyilakan Agus saat tiba-tiba saja mengetuk pintu ruang kerjanya dengan wajah keruh. Ia segera duduk di seberang meja kerjanya.
"Maaf, saya ingin bertanya, mungkin Mas Bram tahu keberadaan Liana? Saya ke sekolah Adel dan Ayu, guru-gurunya seolah menghalangi saya untuk bertemu anak saya, sekolah macam apa itu? Bukankah mereka seharusnya netral dan tidak ikut campur urusan keluarga kami? Lalu saya ke rumah kami, malah sudah ditempati orang, dia tidak pernah berembuk dengan saya jika rumah itu mau disewakan, saya berhak tahu dan berhak dapat uang juga dari rumah itu karena rumah itu dibeli saat kami telah menjadi suami istri."
Bram merasakan emosi Agus yang meledak-ledak, ia biarkan laki-laki di depannya menumpahkan semua yang ada di pikirannya.
"Sudah?"
"Ya, saya hanya ingin tahu alasan semua itu, bahkan saya ke kantor Liana juga dikatan Liana tak masuk, pasti bohong karena setahu saya sejak kami menikah dia tak pernah tidak masuk kerja kecuali anak kami sakit."
Sekali Bram mengangguk-angguk.
"Akan saya jelaskan hal yang saya ketahui karena saya memang tidak tahu banyak, rumah yang anda katakan dibeli saat kalian sudah berumah tangga itu salah, rumah itu dibeli sebelum kalian berumah tangga, hanya pelunasan terakhir saat kalian telah menikah, saya tahu karena saya yang membatu penyelesaian akhirnya."
Wajah Agus memerah, ia merasa marah karena lebih tahu Bram dari pada dirinya yang saat ini masih menyandang status suami Liana.
"Lalu anak-anak dan Liana tinggal di mana saya juga tak tahu."
"Saya yakin Anda berbohong, saya tahu Anda masih menyukai istri saya."
"Saya akui saya masih menyukai Liana, tapi otak saya masih waras untuk mengambil dan menganggu dia saat dia masih sah menjadi istri orang, saya juga masih normal, punya nafsu terhadap lawan jenis tapi karena saya punya Tuhan jadi saya tahu bagaimana cara agar nafsu saya berjalan sesuai tempatnya, tidak asal umbar nafsu hingga berakibat fatal bagi saya."
Agus berdiri dengan wajah marah.
"Anda tak usah menyindir saya, saya tahu apa yang saya lakukan, tak usah sok mengatur hidup saya."
"Jika Anda tak suka dan merasa terganggu dengan ucapan saya, Anda bisa berhenti bekerja di sini."
"Ya! Saya memang akan berhenti! Gaji juga tak seberapa di sini."
Bram terkekeh.
"Silakan cari pekerjaan di tempat lain, dengan pola kerja seperti Anda saya yakin gaji Anda tidak akan sebesar di sini, saya menggaji Anda karena saya melihat Liana dan anak-anaknya, meski ternyata gaji itu tak pernah sampai padanya."
Dan Agus ke luar dari ruangan Bram, ia menoleh saat tiba di pintu ke luar.
"Akan saya buktikan pada Anda jika saya akan mendapatkan pekerjaan lain yang lebih layak dari pada di sini!"
.
.
.Agus benar-benar marah, ia baru tahu dari dokter yang merawat Ranti jika Ranti keguguran, nafasnya memburu, ia marah karena baru hari kedua menemani Ranti baru diberi tahu. Sementara Ranti masih terlihat lemas. Agus yakin laki-laki yang bersama dengan Ranti yang telah membuat Ranti keguguran. Ia benar-benar dendam dan akan mencari laki-laki yang telah membunuh calon bayinya. Belum lagi ia harus memikirkan biaya rumah sakit padahal ia sudah tidak bekerja. Harus mencari pinjaman ke mana? Pada ibu dan saudaranya rasanya tak mungkin, ia mencoba muncul di rumahnya ternyata belum juga menginjakkan rumahnya, ibunya sudah berteriak-teriak mengusirnya bahkan sampai mengatakan hal yang tak pantas diucapkan oleh seorang ibu karena mendoakan agar hidupnya tak bahagia.
"Harus ke mana aku mencari pinjaman? Motor kalo aku jual juga masih kurang? Akan aku coba lagi ke rumah ibu, bersimpuh di kakinya, demi Ranti akan aku lakukan apapun agar dia bisa bertahan."
"Pak Agus?"
Agus kaget saat tiba-tiba perawat memanggil namanya, ia sedang duduk di luar kamar perawatan Ranti.
"Silakan Pak Agus ke bagian administrasi, paling tidak Pak Agus menyelesaikan sebagian keuangan, harus ada deposit Pak, karena laki-laki yang pertama mengantarkan Bu Ranti ke sini mengatakan akan segera menyelesaikan dan ternyata sampai sekarang dia tidak muncul lagi, jadi maaf kalau kami meminta Pak Agus yang menyelesaikan."
Dan Agus benar-benar pusing.
🌸🌸🌸
12 Januari 2023 (04.50)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tangis Terakhir (Tak Ada Lagi Lara Karena Cinta)
Aktuelle LiteraturCover by @Lsaywong Sudah Terbit Pengkhianatan yang dilakukan Agus dan Ranti, suami dan adik kandungnya membuat Liana harus pergi dengan membawa dua buah hatinya yang sudah mengerti apa itu arti perpisahan. Hingga beberapa waktu kemudian mereka, Lian...