33. Green Eye

1.4K 245 23
                                    

"Tinggalkan kami," perintah Xenon pada Bertha yang masih panik setelah Lamia diantar ke kamarnya.

Mengingat rekam jejak Xenon yang terkenal kejam dan tidak punya hati membuat Bertha ragu. Tapi Mauka yang menarik tangannya membuat dia akhirnya mengalah.

"Tidak ada yang boleh masuk, siapapun dia," perintah Xenon pada Mauka yang membawa Bertha keluar.

"Tidak seharusnya aku disini, aku harus mendampingi Putri," Bertha hampir saja kembali ke kamar itu kalau Mauka tidak menarik tangannya untuk kedua kalinya.

"Kamu tidak percaya pada Putra Mahkota?"

"Bukannya tidak percaya, tapi Putri bisa saja celaka," suara Bertha memelan karena dia menyadari ucapannya bisa membunuhnya.

Dia hanya kalut. Xenon pernah menggores leher Lamia dengan pedang. Kalau dibiarkan berdua dalam satu ruangan seperti ini, tidak ada yang bisa menjamin Xenon tidak melukai Lamia. Tempramen laki-laki itu buruk.

"Percaya padaku, Putri akan baik-baik saja disamping Putra Mahkota."

Bertha mendecih. Untuk sesaat dia lupa diri. Bagaimana bisa seorang pelayan Putri Mahkota mendecih disamping calon Perdana Menteri di masa yang akan datang.

"Iya, aku akan mencoba percaya pada ucapan, Tuan. Mencoba percaya," ucap Bertha penuh penekanan dan syarat akan sindiran.

****

Lamia yang tiba-tiba pingsan, bibir pucat dan napas yang tidak teratur. Luka cakaran kucing yang terlihat biasa saja dimata orang lain, tapi dimata Xenon terlihat seperti mengeluarkan asap merah. Tidak salah lagi, tubuh Lamia dipenuhi racun dari kucing sialan itu. Xenon menutup matanya untuk beberapa detik, lalu menarik napas dengan dalam karena dia tahu apa yang akan dia lakukan cukup beresiko untuk dirinya sendiri.

Xenon mengecup luka cakaran di lengan Lamia sambil menutup matanya. Menyesap sesuatu dari sana sampai habis. Menjilatnya pelahan dan sesekali melumatnya. Untungnya Xenon cepat menyadari ini sebelum seluruh racun menggerogoti tubuh Lamia dan berakhir dengan kematian.

Setelah cukup lama berkutat dengan luka di lengan Lamia, Xenon menyentuh pipi Lamia. Sial, tubuh Lamia sekarang terasa dingin.

Xenon mendekatkan bibirnya ke telinga Lamia sambil berbisik, "Lamia, bangun."

*****

Lamia kembali ke kamar Emerald. Bedanya tempat ini lebih gelap dan terasa dingin dibanding sebelumnya. Lalu matanya fokus pada gadis yang duduk di meja sambil memunggunginya. Gadis itu menulis sesuatu di secarik kertas sambil menangis.

Lama-kelamaan tangis itu lenyap dan diganti dengan tangannya yang mengetuk-ngetuk meja dengan pena.

Tuk...tuk...tuk.. suara itu pelan tetapi membuat Lamia merinding. Begitu juga dengan gadis yang tadinya menangis tiba-tiba bersenandung pelan, menambah kesan mengerikan.

Sadar kalau tempat ini semakin aneh, Lamia langsung mundur, kemudian membalikkan badannya dan hendak lari dari sana.

"Astaga!" pekik Lamia saat mendapati gadis itu tiba-tiba sudah berada didepannya.

Wajahnya memang persis sama dengan Lamia. Hanya saja penampilannya membuat Lamia bergidik ngeri. Gadis itu memakai dress putih yang bagian bawahnya terkena lumpur, tubuhnya basah kuyup. Terutama rambut panjangnya yang berantakan dan basah, wajahnya pucat dan bibirnya sedikit gemetar karena kedinginan. Sumpah, Lamia merinding melihatnya. Emerald yang ini sangat jauh dari yang dia lihat di lukisan.

"Sudah aku bilang aku tidak mau mati," ucap Emerald dengan suara yang bergetar. Lalu dia menatap Lamia dengan tajam dan perlahan maju membuat Lamia mundur menghindar.

Infinity HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang