"Udah berapa lama si kita pacaran?" Ara menatap mata Pram penuh lelah. "Setahun kan ya?" tanyanya entah pada siapa. Ia menatap kesana kemari, tidak ingin bersitatap dengan Pram. Karena pandangannya sudah mengabur. "Selama itu pula, aku ngerasa makin jauh dari kamu." Ara menghapus air matanya, menatap kembali wajah yang masih terlihat tenang. Seakan Ara bukan sesuatu yang ia takut jika akan kehilangan. Mungkin memang Ara tidak pernah sepenting itu.
"Lo boleh pergi, kalau mau."
Hati Ara linu. Ia terengah merasa sesak di dadanya. Benar kan? Ara tidak pernah seberharga itu buat Pram. Ia hanya seorang yang bersedia dengan suka rela bertahan untuk Pram, padahal Pram tidak terlalu membutuhkannya. Ara tertawa di sela isakannya. Ia menunduk, menutup wajahnya, menangis tersedu. Ia sangat sayang Pram. Ara ingin bertahan, tapi rasanya ini terlalu sakit.
Langit di sore itu terlihat cantik. Lembayung terukir merah merona di sela langit yang sudah mulai gelap. Ara menarik nafas, lalu menghapus air matanya. Tanpa mengatakan apapun, Ara pergi. Ia ingin mencerna lebih jelas semua ini. Ia belum sanggup jiga harus tanpa Pram. Ia tidak bisa.