Setiap hari rasa nya selalu terasa sama, Pram akan terbangun karena bunyi alarm lalu memposisikan diri duduk di pinggir kasur, memandangi mentari pagi yang menorobos masuk lewat jendelanya.
Sebentar kembali berbaring, tepat ketika matanya terpejam, seseorang berteriak di luar kamarnya, mengetuk pintu dengan suara yang lantang. "PRAM! Bangun woy!!" Jelas ia tahu pemilik suara itu, Dikta yang menghuni kamar sebelah juga merupakan teman dekatnya. Pemuda itu memang terkenal dengan cocotnya yang gambreng, sampai Raka saja--sahabatnya. Sering memaki pemuda itu, jika suara lengking Dikta mengganggunya.
Di antara suara lengkingan Dikta di balik pintu, dering ponsel Pram ikut mengusik ketenangannya pagi ini. Padahal ia hanya ingin memejam sebentar sambil mengumpulkan nyawa, tapi mengapa orang-orang ini tidak bisa membiarkannya tenang untuk sebentar saja? Lantas dengan rasa malas, ia mendaratkan ponsel pada telinganya, setelah itu suara Alya terdengar. "Hallo Pram? lo di mana? kok belum ke kampus?"
Sementara itu, tanpa menjawab apapun, pandangannya beralih pada pintu dimana suara Dikta sudha tidak lagi sendirian, sebab setelahnya ia bisa mendengar jelas bahwa ibu kos sedang mengomel karena pemuda itu yang ribut di pagi-pagi begini. "Iya bentar lagi." ujar Pram, setelahnya ia beranjak membuka pintu dan menemukan ibu kos yang sudah berlalu meninggalkan Dikta yang menghela nafas kesal.
"Hallo? Pram? lo denger gue kan?" ujar orang di seberang sana.
Pram menghela nafas lagi, tanpa berkata apapun lagi, ia berlalu membiarkan pintu terbuka agar Dikta bisa masuk ke kamarnya, sambil berjalan masuk ke kamar mandi, ia memutus panggilan melempar ponselnya ke atas meja.
Setelah membersihkan diri, dan keluar dari kamar mandi, lagi-lagi yang ia dengar adalah omelan Dikta yang memenuhi kamarnya. Pram sampai mendelik beberapa kali ketika lelaki itu terus-terusan memakinya.
"Lo tuh harusnya bersyukur punya temen baik kayak gue, coba kalo bukan gue yang bangunin lo?lo pasti udah kesiangan!"Tanpa berniat merespon apapun, Pram duduk di pinggir kasur, bergerak membuka ponsel. "Pram! anjir lo denger gue gak si?" ujar Dikta lagi.
Ada banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Naraya tumben kekasihnya itu menelpon? karena jangankan menelfon, membalas chat nya saja sering lupa. Katanya, Ara tidak terlalu sering memegang ponsel, Pram percaya karena jika sedang berdua pun gadis itu hampir tidak pernah mengeluarkan ponselnya di dalam tas.
Padahal ponsel adalah benda dimana kita memegang dunia, seakan hanya dengan benda itu kita bisa tahu yang terjadi di belahan dunia lain tanpa harus terbang kesana, kita bisa berbagi kabar dengan orang yang jaraknya terbentang jauh di sana.
"Pram!?"
Mendengar namanya di panggil untuk kesekian kali, ia menghela napas, lalu menoleh dengan ekspresi lelah. "Apaa?"
Di seberang sana, Dikta duduk di kursi menghadapnya, sesaat setelah ia menoleh pemuda itu nampak tertawa sungkan sambil menggaruk pelipisnya."Gue mau nebeng."
"Lah? motor lo kenapa?"
"gak kenapa-kenapa sii"
"Terus?"
"Gus lagi males bawa motor."
"Gak!"
Melihat Pram berdiri, ia pun ikut berdiri di belakang Pram, ia kembali berujar. "Pram lo tahu gak? kalo orang pelit kuburannya nanti sempit."
Mendengar tutur dari Dikta meembuatnya menoleh, menatap sengak wajah temannya itu, lalu ia tertawa garing, "Wahh kalo gitu, punya lo kayaknya udah sepetak ubin." yang hanya di balas gelak tawa Dikta.
Melihat bagaimana tawa Dikta menggelegar dengan tangannya yang terus memukul bahunya, membuat Pram menatap temannya itu aneh. Apalagi ketika ia berujar, "Hahha lo bisa aja.." mendengarnya saja sudah membuat Pram menggeleng.