Becuase it's you

15 1 0
                                    

Dulu sekali Pram pernah berkata begini.

"Ra, gue gak akan bilang kalau gue mau sama lo selamanya," Saat itu mereka berdiri di jalan penyebrangan, menatap lurus ke depan, membiarkan waktu berlari di antara warna oranye. Jelas, mendengar ucapan Pram membuat hatinya bergetar, ia bahkan sampai menoleh terkejut. Di antara sayup klakson kendaraan, lelaki itu kembali berujar, "Karena selamanya itu berarti gue meragukan selama apa cinta gue bisa bertahan." Setelah menoleh, tatapan keduanya bertemu, "Biarkan kata selamanya tiada, agar lo tahu seberapa sering nya gue merindukan lo."

Sesaat setelah kalimat Pram tidak lagi rampung, pipinya merah merona sebagaimana sudut langit di atas sana. Mungkin benar, bahwa Pram tidak pernah berjanji untuk bersama Ara selamanya, tapi lelaki itu akan memastikan bahwa cinta nya pada Ara akan tetap ada disana, sebab selamanya adalah hal yang tidak pasti, sebab selamanya itu tidak pernah ada, dan Pram tidak ingin memberi Ara suatu hal yang tidak pasti.

Sekarang di bawah lembayung yang terlihat dahayu di depan sana, mereka duduk berdua di antara gemerisik angin, serta di antara degub jantung keduanya yang menggila seperti deburan ombak di depan sana. Lelaki yang duduk di sampingnya ini tidak pernah berubah, alih-alih tempat hiburan atau cafe-cafe, pemuda itu hanya akan membawanya ke sebuah tempat paling tenang di sudut bumi ini. Ia akan mengajaknya untuk melihat sisi lain dari dunia, sisi yang sebenarnya bisa kita jamah jika punya waktu luang yang lama.

Setiap kali Pram mengajaknya ke tempat yang tidak terduga, lelaki itu hanya akan berkata, "Lo udah terlalu banyak lihat dunia yang gegap penuh manusia, jadi gue ajak lo kesini agar sesekali lo bisa jenguk diri lo sendiri." Begitu katanya. Atau secara tiba-tiba Pram menyuruhnya untuk berjalan tanpa alas, lalu katanya "Ini tuh bentuk relaksasi, Ra." kalau ditanya teori dari mana, Pram hanya akan tergelak sambil berkata, "Dari gue."

Aneh, Pram memang aneh.

Kini mentari sudah semakin turun, langit yang bermula berwarna jingga, kini berganti dengan biru kelabu. Di antara keterdiaman mereka, Ara melihat Pram beranjak entah kemana. Tidak lama, karen tepat ketika deburan ombak membentur pinggir karang, suaranya menyatu dengan rekahan tawa Pram yang ia tidak tahu alasanya apa. Kenapa pula laki-laki itu datang lalu tiba-tiba tertawa.

"Kenapa sii? dateng-dateng langsung ngakak aja, gajelas." Ara mengambil minuman yang Pram buka.

Benarkan kata Ara tadi? Pram memang aneh kan?

Apalagi ketika pemuda itu berkata, "Ra, pernah ga lo tiba-tiba ketawa karena inget hal yang lucu?" hanya untuk membuat Ara menekuk wajahnya, melihat Pram aneh. "Tadi gue tiba-tiba keinget aja kejadian waktu Raka gak sengaja pake celana bolong karena buru-buru ke kampus."  Jelasnya dengan tawa yang semakin nyaring di telinganya.

Tapi karena itu hal yang lucu, jadi Ara ikut tertawa. Membayangkan bagaimana malunya Raka, cowok yang banyak di gerangi perempuan itu pasti telah menaruhkan gelar 'cowok cool' di pantatnya.

"Gak kebayang sii malunya gimana." ujar Ara setelah tawa mereka reda. Ketika ia menghapus air mata karena habis tertawa, barulah ia lihat sejka tadi Pram memandanginya. "Kenapa?" tanya Ara salah tingkah.

Tanpa menjawab, lelaki itu bergerak merangkul bahu Ara, menarik kepala Ara agar bersandar di bahunya. Dalam dekapan Pram, tiba-tiba ia merasa sesak apalagi ketika Pram berujar dengan pelan, "Nanti cerita ya, Ra."

Selalu itu, di akhir percakapan mereka, kalimat itu yang selalu menjadi jeda. Seakan nanti yang di damba-damba akan mengakhiri kira yang selalu menghantui. Entah lah, Pram hanya selalu merasa gadis itu tidak pernah ingin membawanya jauh ke dalam sana, gadis itu tidak pernah membuka pintu, dimana Pram sudah mengetuknya keras. Sangat keras, sampai hatinya merasa linu.

 Dua arahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang