"Kenapa harus hari sabtu?"
Kenapa di antara tujuh hari dalam satu minggu, kenapa yang Pram minta hanya hari sabtu? Jelas Ara akan menyetujui permintaan Pram yang sederhana, ia ingin Ara menyisakan hari sabtu untuk di habiskan bersamanya. Tapi jelas sebelum ia setuju ia harus tahu alasan lelaki itu memilih hari sabtu. Jadi setelah bertanya, ia melipat tangan di atas meja, lalu menatap Pram lekat.
"Gak harus si, cuman karena lo kan kalo hari-hari biasa pasti sibuk. Jad_"
"Emang kalo hari sabtu aku gak sibuk gitu?" tungkas Ara membuat Pram mendelik.
"Kebiasaan deh, kalo orang lagi ngomong suka di potong-potong." Ujar Pram kesal, ia kembali menyinduk nasi gule miliknya, sudah terlanjur malas untuk kembali bicara, sedangkan Ara sudah tergelak, mengacuhkan beberapa pasang mata yang kini tengah menatap keduanya.
Sepanjang trotoar jalan Ahmad Yani penuh dengan pedagang kaki lima, dimana salah satu pedagang gule disana adalah favorite keduanya. Berkawan dengan pelik nya jalan jakarta yang gegap dengan manusia dan asap yang berasal dari kendaraan, mengobrol dengan Pram mampu merampungkan rasa lelah nya.
Ada saat dimana Pram merasa bosan dengan hubungannya, dimana ia yang terus menerus berusaha mengatur waktu untuk bisa bertemu di sela-sela kesibukan Ara. Padahal ia sendiri tengah sibuk dengan tugas akhir, dimana ia harus mengerjakan sebuah drama. Sebenarnya malam ini harusnya ia datang menemui teman kelompoknya untuk membahas naskah, tapi karena ia meminta untuk di lanjutkan besok dan kebetulan mereka semua setuju. Jadilah ia berhasil memenuhi permintaan Ara untuk di antar ke sini, menikmati satu porsi gule yang katanya sejak kemarin gadis itu idam-idamkan.
Di antara suara obrolan pengunjung yang memenuhi beberapa meja, juga suara klakson kendaraan di seberang sana, tawa Ara adalah yang paling lantang memenuhi pendengarannya. Ia bahkan ikut tersenyum ketika mata gadis itu menyipit karena kedua pipinya yang naik ketika tertawa. Wajah merah gadis itu, deretan gigi yang rapih, rambut yang di cepol dengan beberapa anak rambut yang jatuh menjuntai di dahinya, semua itu tidak luput dari pandangannya, sampai ketika tawa gadis itu berhenti, menyisakan senyum tipis yang membuat dadanya berdebar, lalu menyuapkan sesendok gule padanya, sambil berkata.
"Ayok lanjutin. Kali ini aku janji bakal dengerin sampai kamu selesai ngomong."
Tapi alih-alih melanjutkan ucapannya, Pram malah mengajukan pertanyaan yang membuat Ara menaikan satu alis.
"Lo percaya cinta pada pandangan pertama gak?"
"Kamu percaya?" Ia meletakkan sendok, lalu memangku dagu, menatap Pram lekat. "Kalo aku sih enggak." Ujarnya.
"Sama, sekarang gue juga gak percaya." Setelah meletakkan sendok dan melipat kedua tangannya di atas meja, Pram kembali berujar, "Katanya cinta pandangan pertama itu ketika kita jatuh cinta pada seseorang bahkan sejak kali pertama berjumpa, tapi menurutku itu bukan cinta, tapi cuman ketertarikan aja, dan biasanya hal itu terjadi ketika kita melihat paras atau hal yang menarik dari orang itu."
"Kayaknya lebih ke kagum?" Tungkas Ara menambahi yang di angguki oleh Pram.
"Awalnya gue juga kayak gitu sama lo, jatuh cinta ketika liat lo berdiri di podium. Tapi katanya cinta itu lekang oleh waktu dan gak bisa datang secepat itu." Pram bisa melihat perubahan tatapan Ara. "Jadi gue rasa, saat itu gue gak bener-bener cinta sama lo, tapi cuman tertarik dan kagum aja. Dengerin dulu--" tungkas Pram ketika melihat Ara hendak membuka mulut.
"Gue gak tahu kapan tepatnya gue mulai jatuh cinta sama lo, yang pasti setiap kali lo ketawa kayak tadi, gue bisa ngerasain detak jantung gue lebih cepat, Ra."
Ara masih tergagu di tempatnya. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi otaknya tidak bisa mengatur setinggi apa dua sudut nya tertarik agar tidak membuat ia terlihat bodoh, tapi sebelum otaknya mencerna, detak jantungnya sudah berlari lebih cepat, senyumnya sudah merekah, wajahnya sudah memerah sampai telinga. Ia masih belum mengatakan apa-apa bahkan sampai Pram sudah kembali menyuap setiap nasi ke mulutnya dengan gerak yang tak santai, mungkin Pram juga sedang salah tingkah.