"Dimana?"
"Gue tunggu diparkiran. Kita pulang bareng."
Sudah tiga puluh menit yang lalu Ara membaca pesannya. Tapi tidak ada balasan dari gadis itu. Setelah beberapa menit menunggu, yang di tunggu pun datang.
Pram hanyut dalam pandangannya. Ara terlihat sangat kacau, gadis itu seakan baru saja keluar dari badai. Wajahnya tanpa make up dengan bibir yang hanya di poles liptint, blous biru langit yang sedikit kotor, rambut yang di cepol asal, juga mata yang sembab dan lingkar mata yang semakin jelas terlihat ketika gadis itu sudah semakin dekat padanya. Selama ia mengenal Ara, ini adalah penampilan paling mengenaskan.
Apa Ara sesibuk itu?
Garis tatap menjamu hangat matanya yang dingin, menenggelamkan Pram pada utuh yang masih jauh. Roman tidak menunjukan keindahannya, tapi senja memancar dari sana. Ara terlampau sulit di jamah, membentang sekat untuk di panjat tinggi-tinggi. Dia adalah ketidakmungkinan yang ia temukan, ketidak pastian yang seharusnya tidak ia percaya. Naraya sukar di gapai, tapi mengapa ia tidak memberinya pilihan lain selain jatuh cinta?
Dalam penampilan yang seperti ini pun, gadis itu masih cantik dengan senyum manis yang tidak pernah pudar dari wajahnya. Pada siapapun, Ara akan tersenyum tulus.
"Kebiasaan banget, chat dari gue di read doang." Pram berujar. Lalu setelahnya ia bergerak memasang helm di kepala gadis itu. Di antara harum tanah selepas hujan, yang penuh memenuhi gegap kardianya hanyalah bau parfum gadis itu yang membuatnya terasa pulang.
"Kan mau di samperin, ngapain di bales? kalau aku gak bisa ketemu kamu, baru aku bales." Pram terdiam sebentar. Ia menatap Ara yang tengah tersenyum. Di antara legam mata nya yang menyipit, Pram terpaku pada iris nya yang terlalu jelas memancarkan bekas kenestapaan. Seakan belum cukup senyum gadis itu menyembunyikan lara, Pram menatapnya curiga.
"Ngapain nangis?" ujar Pram yang bergerak naik ke motor, di ikuti Ara di belakangnya. Seakan belum terbiasa dengan kepekaan kekasihnya itu, ia sampai tergagu di tempatnya. Lalu setelahnya ia naik, tidak ada jawaban yang tepat untuk di sampaikan sekarang, tanpa mengatakan apapun, Ara naik, memeluk tubuh Pram.
"Capek." Hanya satu kata itu yang mampu mewakilkan keruh isi kepalanya, juga lelah badannya. Lantas setelah berujar ia semakin mengeratkan pelukan, berharap di punggung kekasihnya, ia mampu menyandarkan segala gegap dunianya. Di antara padatnya jalan, yang nampak terasa sesak adalah kesunyian.
Setiap kali mereka saling melempar ego, yang terjadi setelahnya adalah minggu-minggu tanpa bertemu, keduanya akan saling diam, menumpuk lebih banyak ketidakpastian, mengenyam semakin banyak salah paham, sampai ketika beberapa waktu meledak, keduanya sama-sama hancur.
Padahal sudah hampir satu tahun mereka bersama, tapi tidak ada yang ingin melerai keegoisan. Di antara minggu yang saling membisu, mereka akan sama sibuknya. Ara yang sedang menjabat sebagai wakil ketua BEM dan Pram yang tidak ingin mengurai waktu untuk menggangu kesibukan gadis itu. Dalam hal ini keduanya tidak ada yang dewasa.
Pernah suatu hari mereka bersiteru hanya karena Ara lupa pada janjinya yang akan hadir pada penampilan pemuda itu di sebuah acara, mengingat itu membuatnya meringis, itu memang salah nya, tapi bukankah terlalu berlebihan sampai pemuda itu marah dan mengatakan kalau Ara bisa pergi jika dirinya mau?
Saat itu rasanya ia terlalu lelah untuk melerai hubungannya yang kusut, jadi tanpa mengatakan apa-apa Ara pergi, kembali terjun pada kesibukannya sendiri. Di antara remang nya jalan pulang yang serta merta menguak beberapa ingatan, ia baru tersadar kalau jalan yang sejak tadi mereka tempuh bukanlah jalan untuk sampai ke rumahnya, melainkan ke sebuah gedung bekas yang terletak di tengah kota.