"Mending lo ikut gue ke Ubud," ucap Jose siang itu.
Lama tidak bertemu, hari itu Jose sahabat karib sejak di universitas menyempatkan mampir mengunjungi rumahnya.
Ravindra hanya tersenyum kecil. Kedua mata masih antusias menatap foto-foto lukisan dalam tablet milik Jose.
Sungguh, Jose tengah menjalani kehidupan yang ia impi-impikan. Memiliki galeri seni sendiri di Bali dan sukses menjual karya seni. Jose bercerita jika lukisan-lukisan di galerinya terjual dengan harga yang bagus.
"Lo nggak mau ikut gue aja? Lo bisa taruh lukisan lo di galeri gue. Lo bisa tinggal di tempat gue. Selain Bali, gue sering kirim lukisan ke Solo, Jogja, Jakarta, sampai luar negeri. Bulan lalu aja gue kirim dua lusin lukisan ke Singapura." Jose menatap serius.
Tawaran Jose, memang terdengar menggiurkan.
"Gue pingin tapi..." Kalimat Ravindra menggantung di ujung bibir. "Gimana sama Ivy? Gue nggak bisa jauh dari dia. Gue nggak bisa sehari aja nggak cium pipinya.... " Ravindra termangu menatap Jose yang seketika terdiam kemudian menyesap rokoknya dengan penuh khidmat. Mereka berdua duduk melantai di teras rumah, sambil menikmati segelas kopi hitam yang berangsur dingin.
"Gue kasian liat lukisan-lukisan lo..." Jose menatap nanar belasan kanvas yang terbungkus kain putih dan disandarkan begitu saja di dinding. "Dunia harus tahu bakat lo."
Ravindra tersenyum tipis, kemudian membuang asap rokoknya dengan perasaan berat. "Gue pingin, bener. Tapi dunia gue sekarang Ivy...."
"Hmmm..." Jose terlihat berusaha mengerti.
"Gue nggak bisa bayangin jauh dari dia. Gue nggak bisa bayangin, nggak cium-cium dia. Gue suka banget bau kecut Ivy. Enak banget, bikin gue tenang... " Ravindra membayangkan aroma kecut Ivy yang menjadi aroma favoritnya kini.
"Halah! Bau kecut Ivy apa bau kecut beha mantan bini lo? Ha ha ha!" ledek Jose disusul tawa nyaring yang memekakkan telinga.
"Beha mantan bini gue nggak kecut Bro," ralat Ravindra sambil meringis.
"Oh..." Dalam sekejap Jose menghentikan tawanya. "Beha bini gue doang berarti yang kecut..."
Ravindra hanya menatap datar. Sungguh, tidak ingin mendengar selipan informasi yang sangat tidak penting itu.
"Vin. Come on. Fight for your life. Lo nggak harus ke luar negeri jadi TKI dan bertahun-tahun nggak ketemu anak. Bali deket, Man! Inget, living in Bali itu impian lo. Lo masih bisa pulang sebulan sekali. Mau sampai kapan lo kayak gini, Man? Gue kebetulan mau buka cabang di Jogja. Gue bakal sibuk di sana urus ini itu. Manajer gue yang lama rencana mau gue tarik buat cabang di Jogja. Gue butuh orang di Bali dan gue pingin kasih kesempatan ini ke lo. Lo pasti bisa urus lukisan-lukisan gue, juga karya-karya seni lainnya. Kita ini Bachelor of Fine Arts! Gue butuh orang-orang yang ngerti seni buat ngurus galeri. Gue nggak bisa ngurus galeri sendirian..." Jose masih berusaha meyakinkannya.
"Thanks tawarannya. Gue pertimbangin dulu ya. Sementara ini kalau boleh gue nitip beberapa lukisan gue dulu di tempat lo."
"Okey Vin, okey... " Jose mengangguk pasrah pada keputusannya. "Lo pikir dulu baik-baik ya..."
Ravindra mengangguk lesu. Ia ingin sekali pergi, akan tetapi tidak sanggup membayangkan terpisah jauh dari Ivy. Apalagi Ivy sudah duduk di bangku Paud. Meski jadwal sekolah Ivy hanya tiga kali dalam seminggu, pagi-pagi sekali Evelyn sudah mengantar Ivy ke rumahnya. Di saat Evelyn tengah bersiap untuk berangkat ke kantor, ia memandikan Ivy dan menyiapkan gadis kecilnya itu untuk pergi ke sekolah.
Tidak ada yang berubah pasca mereka bercerai. Daripada menitipkan Ivy di day care -yang mana akan menambah biaya bulanan semakin membengkak- mereka sepakat mengasuh Ivy secara bergantian.
Meski sudah berstatus sebagai pegawai kontrak, gaji Evelyn tidaklah seberapa. Untuk ukuran hidup di Jakarta, penghasilan Evelyn bisa dibilang pas-pasan. Ia sendiri belum bisa memberikan nafkah secara rutin. Jadi Ravindra merasa, keputusan mereka untuk bergantian mengasuh Ivy adalah keputusan yang paling baik untuk saat ini.
Selama ini waktunya lebih banyak habis untuk mengasuh Ivy. Biasanya setelah mengantar Ivy ke sekolah, ia kembali ke rumah untuk mengerjakan lukisannya. Namun tentu saja ia tidak bisa maksimal karena dua jam setelahnya harus menjemput Ivy.
Terkadang, ia tidak langsung pulang dan membawa Ivy jalan-jalan sebentar. Seringnya mereka mengunjungi mini market untuk sekadar membeli camilan untuk Ivy. Kadang ia membawa Ivy ke perpustakaan dan memperkenalkan gadis kecilnya pada aneka buku penuh warna.
Ketika sampai di rumahnya, ia masih harus menyuapi Ivy makan siang. Jika Evelyn tidak meninggalkan makan siang, Ravindra lebih memilih memasak sendiri daripada membeli makanan di luar. Jika sedang tidak ingin memasak, ia membeli bakso untuk Ivy. Bakso memang salah satu makanan favorit Ivy selain sup. Ivy jadi lebih mudah disuapi dengan makanan yang berkuah dan masih hangat.
Selesai menyuapi Ivy, ia akan menemani Ivy bermain hingga gadis kecilnya itu lelah. Terkadang ia menyempatkan melukis sambil mengawasi Ivy bermain sendiri di depan televisi. Namun tentu saja Ivy akan berceloteh dan menanyainya akan berbagai hal sehingga konsentrasinya sedikit terpecah. Kadang Ivy ingin ditemani bermain sehingga ia baru bisa melukis di malam hari.
Menjelang jam tiga sore, ia akan memandikan gadis kecil itu lalu membacakan dongeng pengantar tidur. Biasanya Ivy tidur sebentar antara satu sampai dua jam. Kemudian menjelang jam enam sore, ia sudah harus menyuapi Ivy makan malam agar Evelyn bisa memiliki waktu untuk beristirahat sepulang dari kantor.
Jika Ivy tidak ada jadwal sekolah, ia tidak berhenti mengasuh Ivy sejak pagi. Terkadang ia membawa Ivy mengunjungi rumah kedua orang tua-nya agar gadis kecilnya itu tidak jenuh.
Semua itu ia lakukan tanpa rasa terpaksa. Seringkali ia juga merasa lelah. Tapi ia sadar, tidak ada yang bisa ia berikan selain energinya. Namun, apakah Evelyn melihat apa yang telah ia lakukan? Semua yang telah ia lakukan tertutup begitu saja karena belum bisa menafkahi Ivy secara utuh.
Ravindra tidak pernah menyesali kisah cintanya yang singkat bersama Evelyn. Meskipun Evelyn bersikeras melepas ikatan di antara mereka, hatinya selalu terikat.
Pernikahan mereka memang terjadi karena kecelakaan. Namun mencintai Evelyn bukanlah kecelakaan.
Ravindra tidak menyimpan dendam meski Evelyn memilih menceraikannya. Perasaan di hatinya tidak pernah berkurang. Terkadang ia merasa cinta itu masih ada. Akan tetapi di lain waktu ia merasa hanyalah budak cinta yang merindukan pemujaan Evelyn.
"Bro, suatu saat nanti Evelyn bakal move on dan punya kehidupan sendiri meskipun lo bapaknya Ivy. Lo sanggup liat keluarga kecil lo sama laki lain? Every day, tepat di depan mata lo? Lo sanggup liat Ivy menemukan someone itu sementara lo masih gini-gini aja? Sori gue ngomong gini. Di sini lo ga berkembang Bro... " Sebelum pamit pulang tadi, Jose kembali menasihatinya.
Sebenarnya, ia pun juga sudah memikirkannya.
Jujur, Ravindra kerap merasa takut tiap kali hal itu terlintas di kepalanya. Bagaimana jika suatu saat nanti Evelyn kembali membuka hati bagi pria baru? Akankah ia sanggup melihatnya?Akankah ia sanggup melihat Ivy memanggil pria lain dengan sebutan papa? Untuk saat ini, Ravindra sungguh tidak ingin memikirkan hal itu meski cemasnya selalu terseret.
Bali masih menjadi impiannya. Namun, saat ini keadaannya sudah jauh berbeda. Sukarela ia bersedia terpenjara di sisi Evelyn dan Ivy, entah sampai kapan. Mungkinkah sampai Evelyn menemukan pengganti dirinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Lima Langkah [END]
RomanceBercerai tapi masih cinta? SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN. Cerita lengkap sudah tersedia di Playstore dan Playbook [E-book]. Untuk link pembelian sudah tersedia di profil Wattpad. Jika ada kendala dalam pembelian tidak pe...