Bab 17

5.3K 356 5
                                    

Ravindra menatap lukisannya yang berjejer di dinding ruang tengah. Dibanding rumah, tempat tinggalnya ini memang lebih menyerupai studio seni kecil-kecilan. Setiap sudut rumahnya dipenuhi oleh lukisan kecuali area dapur, taman, dan kamar mandi tentu saja.

Sebenarnya ia selalu produktif menghasilkan beberapa lukisan. Namun, beberapa tahun belakangan ini ia merasa lukisan-lukisan itu tidak bernyawa. Ironis, ia melukis tanpa begitu menikmati prosesnya. Ia melukis demi mengejar rezeki yang juga tidak kunjung datang.

Ia melukis malam, juga melukis senja. Ia melukis para petani, nelayan, juga situasi pasar tradisional yang ramai. Ia bermain warna dan mencampurkan mereka semua ke atas kanvas. Lalu lahirlah keindahan yang  memanjakan mata. Semua hanya berbekal imajinasinya semata. Jika ada skala kenikmatan melukis dari angka satu sampai sepuluh, Ravindra meletakkan nilainya di angka tujuh.

Berapa pun derajat kenikmatannya, ia tetap melukis. Jemarinya harus tetap menyentuh kuas, tatapannya harus tenggelam dalam perpaduan warna yang sudah tidak lagi menyeret emosinya.

Ia menjual lukisan-lukisannya mulai dari harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Ia hanya pelukis muda yang belum punya nama. Namun, karyanya tidak asing di kalangan kolektor yang menyukai wujud perempuan dalam lukisannya. Akan tetapi, masa kejayaan itu sudah lewat. Ia bukan lagi Ravindra yang bisa leluasa melukis perempuan. Ia sudah berjanji pada Evelyn untuk berhenti menggunakan muse perempuan, selain mantan istrinya itu.

Ravindra tak menampik, muse membuat lukisannya terasa jauh lebih bernyawa. Ia bagai mendapat ilham, saat menemukan muse yang dirasa sesuai. Lukisannya yang berjudul Mbok Jamu, terjual hanya dua hari setelah diluncurkan.

Mbok Jamu hanya perempuan berumur yang menjelma eksotis dalam bingkai kanvasnya. Wajah ramah dengan mata lebar, mengenakan kebaya lusuh yang sedikit memamerkan belahan dada. Lukisan bertemakan tradisional itu terasa otentik saat ia berhasil menceritakan sedikit kisah Mbok Jamu di dalam lukisannya.

Ia membuat tiga lukisan Mbok Jamu yang semuanya terjual sebelum tujuh hari. Tidak ada yang terjadi di antara dirinya dan Mbok Jamu. Semua murni hanya demi kegiatan melukis yang dibarengi dengan ritme gelora saat mengisi kanvas berbuah puncak dari segala kegembiraan. Namun saat ia berjanji berhenti menggunakan muse, ia bagai kehilangan nyawa pada ujung kuasnya.

Hanya melukis sesempurna mungkin yang terasa hambar tanpa makna. Terbingkai indah. Namun, tidak juga terjual. Ravindra kembali mempertanyakan segalanya. Apakah lukisannya tidak hidup? Apakah getar itu tidak sampai pada hati penikmatnya? Atau, ia hanya belum beruntung saja?

Ravindra percaya, bukan sekadar indah yang membuat manusia jatuh cinta pada karya buatan tangan. Kisah yang disampaikan, emosi yang ditampilkan dan pengaruh yang mungkin ditimbulkan bagi sebagian kecil jiwa penikmatnya, merupakan beberapa unsur yang membuat karya seni menjadi komoditas bernilai jual. Kebetulan, lukisan yang ia buat dengan letupan gairah terjual dengan cepat. Bukan, bukan gairah melihat perempuan setengah telanjang. Melainkan gairah untuk menampilkan perempuan, sosok makhluk dengan berbagai ragam keindahan itu ke dalam kisah berbeda pada kanvasnya.

Kenapa Tuhan harus mengujinya seperti ini? Ravindra menatap putus asa lukisannya yang berderet di dinding. Jangankan terjual, ia sendiri menilai karyanya itu biasa-biasa saja. Hanya sekadar gambar berwarna.

Tidak ada nyawa dalam lukisannya. Ia sendiri tidak merasakan getaran batin itu.

Ia sudah mencoba kembali melukis perempuan hanya dengan bermodalkan imajinasinya. Ia mencoba melukis tanpa muse. Namun hasilnya tetap sama. Ia gagal menghidupkan lukisannya.

Itu hanya lukisan biasa.

Ravindra menyalakan sebatang rokok dan mulai memilah-milah lukisan-lukisannya. Beberapa yang dinilai paling baik, akan segera dikirimkan ke Bali. Ia berharap di galeri Jose lukisan-lukisannya bisa segera terjual, meskipun ia harus membagi keuntungan dengan teman baiknya itu.


                                                                                            ***

Siang ini banking hall tampak sepi, tidak seramai biasanya. Mungkin karena di luar hujan deras, sehingga menyurutkan niat nasabah untuk bertransaksi di bank.

Evelyn masih duduk di mejanya. Tatapannya mengarah pada layar komputer. Namun, pikirannya tertinggal di rumah.

Semalam, ia berbicara serius dengan Ravindra. Mantan suaminya itu mengeluhkan lukisan-lukisan yang tidak kunjung terjual. Satu pun tidak ada.

Saat itu ia melihat-lihat lukisan yang akan dikirim Ravindra ke Bali. Menurut Evelyn, lukisan Ravindra sangat indah. Hanya saja, mantan suaminya itu kurang puas.

"Aku harus cari murid lebih banyak lagi. Mudah-mudahan lukisan aku cepet laku. Kamu bantu doa ya," ucap Ravindra sambil menatap deretan lukisannya.

"Pasti aku bantu doa. Yang daftar kelas lukis baru dua orang ya?"

"Iya. Kamu bantuin promosi ya? Banyak yang nanya-nanya, tapi setelah tahu harga paketnya mereka nggak ada kabar. Padahal menurut aku itu udah terjangkau. Kalau peralatan ya jelas mereka harus beli... " Ravindra terduduk lesu.

"Sabar.. "

"Butuh uang... "

"Gimana kalau sambil nunggu murid lain, kamu nyambi jadi driver taksi online?" Evelyn mencoba memberi saran. "Suami temen aku ada yang jadi driver taksi online dan hasilnya lumayan. Bisa buat kebutuhan sehari-hari."

"Sebenernya Kak Joni juga nyaranin gitu."

"Nah terus?" Ia antusias menatap Ravindra.

"Cuma aku nggak yakin bisa bagi waktu."

"Kan Ivy nggak tiap hari sekolah... "

"Aku tahu Eve. Tapi tetep aja, aku harus alokasi waktu lebih banyak buat jadi driver taksi online. Iya kalo aku dapet rute deket, kalau jauh? Belum macetnya. Belum bensinnya. Bensin sekarang mahal. Belum capeknya, terus kapan waktuku ngurus lukisan?"

"Cari duit ya capek Vin.... "

"Aku tahu Eve. Kamu pikir aku ngelukis nggak capek?"

"Ya kan aku saran."

"Tapi dari cara ngomong kamu, kesannya aku ini nggak ngapa-ngapain. Iya aku tahu, aku belum bisa kasih kamu uang yang banyak. Aku belum bisa nafkahin kamu sama Ivy."

"Lho... kamu kok jadi sensi sih?" Evelyn melihat wajah Ravindra yang mendadak terlihat kesal.

"Udah deh nggak usah dibahas. Iya. Aku tahu aku selalu kurang di mata kamu. Sori ya belum bisa sesuai harapan kamu."

Lagi-lagi ucapannya disalahpahami Ravindra. Tadi pagi saat menitipkan Ivy, Ravindra tidak mau menatap matanya. Sepertinya masih kesal akibat ucapannya semalam.

"Kak, ada antrian." Security mendekat dan menunjuk seorang nasabah berpakaian santai yang tampak menunggu di kursi.

Evelyn segera menekan layar kemudian pengeras suara berbunyi otomatis. "Antrian nomor 01 silahkan menuju meja empat."

Evelyn berdiri dengan senyuman lebar demi menyambut nasabah yang berjalan ke mejanya. Seorang pria berperawakan jangkung dan tegap, yang mengenakan hat bucket dan masker penutup wajah berwarna hitam.

"Selamat siang, silahkan duduk," sapa Evelyn dengan seluruh keramahan yang ada pada dirinya. Ia sempat memperhatikan penampilan pria yang seperti sedang melakukan backpacker itu. Kaos lengan panjang abu-abu, celana pendek selutut dan sandal gunung. Pria itu membawa tas ransel di punggung, juga tas kamera di bahu.

"Eve?" tatapan pria itu menyipit, seolah sedang menyembunyikan senyuman di balik masker yang ia kenakan.

Hm? Kedua mata Evelyn melebar. Apa pria itu baru saja menyebut nama panggilannya?

Pria itu lantas menurunkan maskernya. "Hai. Inget aku? Lama nggak ketemu.... " Pria itu tersenyum lebar, membuat Evelyn terperangah seketika.

Jagad Bagaspati. Cinta pertama sekaligus satu-satunya kekasih di masa lalu itu kembali muncul di hadapannya.

Mantan Lima Langkah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang