Marley

178 31 4
                                    

   Pria tua menggerakkan bola pendulum di atas meja kerja miliknya. Satu hisapan ujung cangklong sebelum akhirnya bersuara.

   "Bagaimana keadaanmu?"

   "Seperti yang Bapak lihat."

   "Dengan balasan sedemikian ramah saya tahu kalau kamu sangat baik...." Sehisap asap lagi. "Meski nyatanya beberapa kali dalam seminggu kamu harus melakukan perjalanan cukup jauh untuk menemuinya."

   Naufal tergelak, biar seharusnya tabu.

   "Pak Arif, dia dokter profesional, lihatlah! Aku masih bernapas sekarang, padahal 3 tahun lalu jadwal kematianku, sesuai vonis medis." Mereka berdua tertawa.

   Padahal baru saja menempuh jalan satu setengah jam—setelah bersarang kateter di tubuh. Sekarang remaja ini terbahak-bahak di ruang kerja Pak Kepala Desa. Si pria tua tersebut. Tenaga dari mana? Atau berjimat, kah? Candaan semesta terkadang mengerikan, lebih mengerikan lagi jika ditertawakan. Bisa saja malaikat maut tiba-tiba datang.

   "Sepertinya musim semi telah datang selepas menghilang sepuluh tahun lalu."

   Atmosfer menjadi serius. Naufal mengerutkan dahi sebelum koneksi otaknya berjalan dengan baik. Sepuluh tahun lalu dia masih belia—ingatan tajam membuatnya memfilmkan adegan silam.

2004

   Tengah malam Naufal kecil terperanjat mendapati ibunda tidak ada di sampingnya. Ia mencari ke seluruh ruangan. Nampak ruang tamu dengan pintu terbuka. Ia keluar melingak-linguk, meneliti. Lamat-lamat terdengar rengekan seorang anak sepertinya ia kenal. Kaki kecil ia langkahkan ke sumber suara yang ternyata berada di rumah paling ujung timur. Benar saja, pintu di sana menganga. Ia kesana lantas menemukan ibunda memangku Haikal kala itu berumur 4 tahun. Tapi suara tersebut bukan dari dia—malahan tidur nyenyak. Suara tak lain milik Revan yang tengah meronta di gendongan sang ayah. Sesekali memanggil ibu.

   "Kamu kenapa kesini, Nak?"

   "Naufal gak bisa tidur kalau Bunda tinggal," ujarnya bersuara serak seraya mengucek mata.

   Pandangan Naufal menyoroti Revan sepersekian detik, lalu langsung keluar, alhasil mengundang teriakan bundanya. "Mau kemana, Fal!?"

   Tak menggubris. Terus saja berlari pontang-panting menuju rumahnya. Tak lama kemudian kembali membawa boneka kelinci kesayangan. Mendekati pria tengah menenangkan anaknya di salah satu sofa. Tangan mungil itu mengulur menggoyangkan boneka perlahan, niat menghibur. Ajaib, Revan berhenti walau sedikit sesenggukan. Ia minta turun, lalu menggapai boneka, merengkuh kuat. Lengang. Naufal memeluk yang lebih kecil, mengelus punggungnya.

   "Cup cup cup, jangan nangis lagi!"

   Ia melepaskan pelukan seketika, merasa suhu tubuh tak wajar sang adik. Tepat setelahnya Revan tiba-tiba terjatuh pingsan. Semua orang panik, sementara Naufal membeku.

***

   "Naufal?!"

   Gertakan pak kepala desa menyudahi lamunannya.

   "Apa yang kau pikirkan?"

   Ia menggeleng dan melanjutkan pembahasan tadi. "Apa kalimatmu barusan berhubungan dengan tragedi desa itu?"

   "Bisa jadi, Fal, kau tahu, Fal, kepolisian menemukan 79 mayat dari penelusuran semalaman."

   "Kapan saja para aparat akan bekerja?"

Utopia 2014 || The Prologue [End]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang