Revan berlari sembari memakai kaosnya. Kaki terus bergerak tetapi otak tertegun. Di jarak 12 meter dari tempat pertarungan tadi, ia berteriak.
"Cho, kembali!" Pria itu putar balik tiba-tiba.
Cho terkejut, hampir terjatuh. Cepat-cepat mengejar Revan yang 3 meter lebih jauh.
"Pendek sialan!" makinya
Cho berhenti setelah mendengar parau teriakan dari pria yang sudah terkapar lemah tadi. Ia menghampiri menyaksikan manusia tengah menggeliat kesakitan, menggerung.
"Dasar anak-anak bajingan!"
Sepatu seperti pdl dipakai Cho, tergerak menginjak kuat kepala salah satu dari mereka hingga wajahnya tertekan ke tanah.
"Ya, kita memang bajingan!" sergah Cho.
Pria itu mencoba menyingkirkan kaki yang terus saja menekan, memutar. Tangannya memukuli, mencengkeram pergelangan kaki remaja yang menginjaknya, mencoba menggeser. Remaja itu mengangkat kaki sepersekian detik, menghentakkan lagi kuat-kuat. Kepala tersebut berpindah posisi menyamping, terdengar suara 'krek'. Pria itu memekik tertahan. Tulang lehernya patah.
"Woyy!!!"
Sontak Cho menoleh ke arah sumber suara—di mana mereka tidak jadi ke sana. Terlihat pria berbaju formal menenteng senapan.
"Kenapa lari? Sampai-sampai tidak mendengarku!" Pria itu menelan ludah, menetralkan napas.
"Lihat adikmu itu, Mas Jan!"
Januar mengikuti arah pandang Cho. Ia mendapati si adik sepupu berjalan bertelanjang kaki ke arah mereka, membawa setelan formalnya. Respon anak muda ini hanya menggeleng-geleng kepala lalu beralih melihat ke arah dua pria yang sudah sekarat. Ia menyuruh Cho menyingkir. Bersiaga popor menempel di bahu, lantas memuntahkan amunisi 45 ACP dengan kecepatan subsonic, menembus kepala dua orang itu.
"Gila, suaranya teredam, apa tadi juga ulahmu?" celetuk Revan yang baru saja datang membawa barang-barangnya.
"Sudah pernah kenalan sama Delisle?" Januar mengangkat kedua alisnya, menyombongkan carbine tersebut. "Ini pernah dipakai saat WW2, Van, milik anak pertama kakek," lanjutnya.
"Pakde? Ayo kesana, Mas Jan, sekalian menginap, aku capek!" Si pendek langsung saja melegar pergi namun ditahan Januar.
"Tunggu, Van, kita harus melenyapkan mayat-mayat ini, bisa chaos nanti kalau ada yang menemukan!"
Revan menutup mata, memikirkan sesuatu. Tidak butuh waktu lama, ide muncul di otaknya. Ia melempar barang bawaan, melesat meninggalkan dua orang yang sedang kebingungan.
10 menit berlalu, ia kembali membawa jeriken ukuran 5 liter, karung dan pemantik.
"Di belakang rumah tetangga Pak Kades ada sumur tua kering, ayo ke sana!"
Revan menyerahkan pemantik dan jeriken ke Cho. Ia memasukkan setelan formalnya ke karung. Setelah itu, digeret salah satu mayat tersebut. Januar menyusul, menggeret satunya lagi.
"Apa ini, Mas Van?" tanya Cho.
"Thinner, aku ambil di gudang Pak Kades."
Sudah jelas sekali ide apa yang tadi muncul di kepala Revan. Cho manggut-manggut. Ia paham nasib tubuh-tubuh ini selanjutnya.
Tubuh-tubuh itu disenderkan di samping sumur. Mereka memandikannya dengan thinner, menyisakan seperempat cairan campuran cat tersebut. Setelahnya, mayat-mayat pria itu dibuang ke sumur. Revan mengambil salah satu pakaiannya dalam karung, melumuri thinner lantas membakar dan membuang ke dalam, disusul seluruh setelan dalam karung. Pancaran api mulai melalak, sudah dipastikan mereka bermutasi menjadi abu. Sisa cairan dilempar se-jerikennya termasuk pemantik, membiarkan semua ikut terbakar.
![](https://img.wattpad.com/cover/327681193-288-k378613.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Utopia 2014 || The Prologue [End]✔️
Hành độngEmpat remaja dari sebuah desa terpencil nyaris terlupakan, mereka menjalani hidup sebagai siswa SMA serta si bungsu sebagai siswa SMP. Sistem SMA di mana beberapa murid akan dikirim sebagai sukarelawan desa lain. Dan merekalah yang diutus. Mereka m...