13. ʟᴜᴀᴘᴀɴ ᴋᴇꜱᴇᴅɪʜᴀɴ

69 53 55
                                    

Menenangkan gemuruh di hati, Rosela mulai melangkah turun dari motor. Ia dan Galih baru saja sampai di rumah setelah pulang sekolah. Rosela meremas jemari-jemarinya yang mendadak berkeringat, sungguh ia benar-benar gugup sebab ekspresi wajah Galih sejak tadi terlihat tak mengenakan.

"Gal," panggil Rosela lirih.

Galih hanya menggumam sebagai tanggapan. Ia tetap melangkah tanpa menoleh ke arah Rosela yang kini sedang berjalan di sampingnya.

"Emm ... jadi kita di sekolah nggak perlu pura-pura buat nggak kenal lagi, kan, kalau di depan Alano?"

Galih akhirnya memberikan atensi penuh, wajah tampan itu mendongak ke arah Rosela. Rosela mencoba membaca guratan ekspresi Galih, tapi nihil. Pemuda itu justru tersenyum kecil ke arahnya.

"Iya, lo bisa bersikap kaya biasa."

Rosela sempat tertegun melihat senyum Galih, hanya sebentar sebelum gadis itu menoleh ke arah lain sembari berdeham canggung. Semilir angin yang menyusup lewat membiaskan keheningan. Tiga detik mereka saling terdiam, lalu akhirnya Galih memutuskan untuk kembali melanjutkan langkah.

Suara dering telepon terdengar nyaring. Dahi Rosela mengernyit dalam memikirkan siapa yang menelponnya, tangannya lalu terangsur mengambil ponsel di saku.

Muncul tarikan napas tak percaya saat melihat nama yang tertera di ponsel. Rosela tersenyum, matanya berbinar senang saat mengetahui bahwa itu adalah ibunya.

"Ibu, ada apa telpon aku?" Suara Rosela yang terdengar riang membuat Galih yang berada beberapa meter di depan menghentikan langkah.

Di tempat lain, Mirah yang saat ini sedang memilih sayur di toko swalayan tersenyum senang mendengar suara putrinya. "Sayang ... Ibu lagi belanja bulanan karena bahan-bahan masak udah mau abis. Oh, iya, alasan Ibu telepon mau ngasih tau kalau Ibu udah masakin omelette buat kamu sama Galih. Jangan lupa dimakan, ya?"

"Siap, Bu! Nanti Rosela sampein ke Galih!"

Galih mencoba fokus untuk mendengarkan suara Rosela, tetapi kepalanya entah kenapa terasa sangat berat. Menghela napas berkali-kali, Galih meringis merasakan perutnya mulai sakit. Pandangannya yang kini berkunang-kunang, membuat tubuhnya mau tak mau terhuyung ke depan.

Mendadak, tubuh Rosela pun menegang. Ia tak merespon ucapan ibunya di telepon selama beberapa saat. Rosela terpaku pada sosok Galih yang mulai terlihat lemas, lantas gadis itu pun menjerit kala melihat Galih tiba-tiba terjatuh.

"Galih!" seru Rosela sambil berlari ke arah Galih.

"Kamu kenapa?!" tanya Rosela khawatir sambil memegang kedua bahu Galih.

"Halo? Halo, La? Galih kenapa?!" Suara Mirah yang terdengar khawatir di seberang telepon membuat Rosela kembali menempelkan ponsel di telinga.

"Bu ... Galih tiba-tiba kaya kesakitan, Ibu tau Galih kenapa? Rosela udah coba tanya, tapi Galih nggak jawab, Bu!"

"Kamu tenang, ya? Ibu rasa maag Galih kambuh. Ibu juga yakin Galih belum makan, apalagi anak itu emang jarang makan. Jadi Ibu minta tolong sama kamu pastiin dia makan terus minum obat, obatnya ada di lemari kecil samping kasurnya Galih." Mirah mencoba menenangkan Rosela yang mulai panik, walaupun hanya dari telepon.

"Iya, Bu. Kalau gitu, Rosela matiin telponnya dulu."

Setelah ijin untuk mematikan telepon, atensi Rosela teralih pada Galih. "Gal ... ayo kita masuk ke rumah," ucapnya sembari membantu Galih berdiri.

Saat Rosela memapah Galih, pemuda itu mencoba melepaskan diri dari Rosela sambil menggelengkan kepalanya. Ia bergumam bahwa kondisinya baik-baik saja.

Rosela mengepalkan kedua tangan ketika melihat Galih justru berusaha jalan sendiri tanpa mau menerima bantuannya. Gadis itu mulai kesal karena Galih bersikap keras kepala walaupun penyakitnya sedang kambuh.

𝐇𝐄𝐀𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang