Tentang gadis biasa, yang mengharapkan hal luar biasa.
---
Hidupnya mungkin saja akan bahagia apabila Rosela terlahir sebagai orang berada, sehingga ia tidak terpaksa menerima asumsi temannya bahwa dirinya dari kalangan kelas atas. Hal tersebut sang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Matahari siang pada hari minggu terasa menyengat, membuat peluh di dahi Mirah kian berlomba keluar menetes hingga puncak dagu membasahi kerah bajunya. Tangan kanannya cekatan menyiram bunga-bunga di halaman belakang rumah, taman bunga ini memang sudah ada sejak Mirah pertama kali bekerja.
Deru suara mobil samar-samar terdengar di telinga wanita tua itu. Seketika pikirannya langsung terlintas kepada anak majikannya yang sedang menjemput putrinya, Mirah yakin mereka sudah sampai di rumah.
Dengan langkah yang bersemangat, Mirah menuju halaman depan di mana terdapat garasi mobil di sana. Rasa rindu begitu membuncah, ia sangat antusias bertemu dengan Rosela. Sejak kecil, Rosela selalu berandai-andai tinggal di rumah mewah yang ia lihat melalui layar kaca ponselnya. Setidaknya sekarang, Mirah bisa mengabulkan keinginan gadis itu.
Di lain sisi, Galih menunggu Rosela turun sambil bersandar di pintu mobilnya. Galih memutuskan keluar terlebih dahulu karena melihat gadis itu hanya diam di dalam mobil sambil melamun, sepertinya ia masih sangat terkejut karena lelaki yang ditolongnya ternyata adalah anak dari majikan ibunya.
"Keluar. Sampai kapan lo mau di dalem?" tanya Galih agar gadis itu mau keluar dari mobil, mobil tersebut adalah hadiah dari ayahnya saat ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun dua bulan lalu.
Dengan gerakan lemah, Rosela membuka pintu mobil. Kakinya perlahan turun menapaki lantai dan berjalan menuju tempat dimana lelaki itu memanggil. Rosela menatap canggung Galih, sesekali ia menyembunyikan anak rambutnya ke belakang telinga sambil menunduk karena merasa gugup.
Tak berselang lama, Rosela dan Galih mendengar suara langkah kaki mendekat. Jantung Rosela bertalu-talu melihat sosok yang amat dirindukannya berdiri tegap di ambang pintu garasi mobil, matanya tak lepas memandang ibunya yang sedang berlari mendekat dan langsung memberinya pelukan.
"Aku merindukanmu, Bu." Air mata yang Rosela tahan akhirnya jatuh perlahan membasahi pipi tirusnya.
Mirah memejamkan mata membuat linangan kian berlomba keluar dari retinanya, ia mengusap-usap punggung putrinya sambil terisak. "Ibu juga merindukanmu, Nak," balas Mirah dan semakin mengeratkan pelukannya.
Pandangan Galih tidak teralih pada wajah manis Rosela yang sedang meneteskan air mata. Entah mengapa, Galih merasa seolah dimensi waktu terhenti ketika melihat bibir ranum gadis itu bergetar pilu. Kepalanya menggeleng berusaha menepis pikirannya pada gadis ini. Galih yakin ia tidak tertarik, melainkan hanya merasa simpati.
"Ayo sayang ... kita masuk."
Mirah menggandeng tangan Rosela keluar dari garasi dan berjalan menuju halaman depan. Pupil Rosela membulat melihat interior rumah dihadapannya, rumah tingkat tiga bercat silver yang begitu mempesona. Mirah lalu membuka pintu dan melangkah bersama Rosela, dengan Galih yang berada di belakang putrinya.
"Waw ...," gumam Rosela ketika melihat isi dalam rumah yang tampak begitu mewah.
Beberapa bagian rumah seperti ada nuansa oriental, tetapi begitu masuk ke dalam ... nuansa Timur Tengah lebih terasa. Rosela memejamkan mata selagi menelan rasa rendah dirinya, Rosela merasa malu tinggal di tempat yang sangat tidak cocok dengan penampilannya.