15. ꜱᴇᴍᴀᴋɪɴ ᴅᴇᴋᴀᴛ

47 30 40
                                    

Rabu pagi yang mendung, awan di ibu kota berwarna abu-abu tipis. Dari ranjang kamarnya, mata Galih menyipit mencoba fokus untuk melihat pemandangan dari luar balkon karena cuaca semakin sejuk.

Matanya lalu memindai ke sekitar, tatapannya kini teralih pada jarum jam yang bergerak. Saat Galih sedang menghitung detik demi detik berlalu di jam dinding kamar, suara ketukan pintu yang terdengar menghancurkan semua ketenangan yang Galih dapat.

"Masuk! Pintunya engga dikunci!"

Suara tekanan kenop memberi akses masuk terdengar, Rosela mendorong pintu kamar Galih dengan pelan. Gadis itu tersenyum kecil ketika menatap Galih sudah memakai seragam sekolahnya. Terlihat pemuda itu sedang duduk di tepi kasur tanpa menolehkan pandangan ke arahnya.

"Gal, disuruh ke ruang makan sama Om Cipta."

Menghela napas pelan, dengan enggan Galih menatap mata cokelat yang tidak senada dengan warna matanya. "Hmm ... oke."

Galih terpaksa beranjak dari tempat tidurnya dan segera keluar dari kamar bersama Rosela. Dalam perjalanan menuju ke meja makan, mereka berdua memilih mengatupkan mulut tanpa ada yang berniat memulai obrolan terlebih dahulu.

Saat sudah tiba, aroma masakan mulai menguar di setiap sudut ruang makan. Namun, rasa lapar yang Galih rasakan tadi perlahan menghilang ketika melihat Cipta duduk di samping Renata. Sekarang, Galih merasa tidak berselera untuk menyantap hidangan apapun.

"Aku mau langsung berangkat aja."

"Makan dulu, ya, Gal? Sedikit aja," bujuk Cipta.

"Males. Udah ngga nafsu." Galih langsung melengos begitu saja tanpa memedulikan reaksi kedua orang tuanya.

PRANG!

Cipta membanting gelas ke lantai, rahangnya mengeras melihat Galih memutar bola matanya. Saat pulang ke rumah ia ingin sekali di sambut hangat oleh anaknya, tetapi Galih merusak ekspetasinya. Pemuda itu membuatnya marah.

"Ayah baru dateng kemarin, Gal. Bisa tolong hargai Ayah? Kenapa kamu selalu buat Ayah marah?!" seru Cipta dengan nada yang terdengar frustasi.

Terkekeh pelan, Galih menggelengkan kepala dan menatap ayahnya dengan sengit. "Galih enggak niat ke tempat ini buat makan. Jangan lupa Ayah yang minta Galih ke sini," ucapnya dengan tatapan tajam menusuk.

"Ayah minta kamu kesini buat kita ngobrol, quality time keluarga. Ayah mau nebus masa-masa Ayah waktu nggak ketemu sama kamu. Apa salahnya?" tanya Cipta.

"Nggak perlu bersusah payah buat bikin aku maafin kelakuan Ayah. Ayah tau? Mati-matian aku nahan emosi waktu inget masa lalu! Galih berusaha nerima Ibu juga! Tapi tetep aja, hati Galih masih enggak bisa maafin kalian berdua!" tegas pemuda itu.

Galih bersikap seperti ini karena orang tuanya yang memang hanya perduli pada pekerjaan mereka. Saat Galih demam tinggi dua bulan yang lalu, Cipta meninggalkannya dan pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis. Bahkan, ibunya malah menghadiri meet dengan fans-nya. Yang menjaga dan mengobati Galih hanyalah Mirah seorang.

Pembantunya itu, harus mengurus dua keluarga sekalipun bahkan pekerjaannya sebagai ART. Namun, Mirah sama sekali tidak mengeluh dan tetapi menjalankan kewajibannya, sedangkan orang tuanya waktu saja tidak ada untuknya.

"Kalo bukan karena Bi Mirah, Galih enggak akan pura-pura baik sama kalian. Bi Mirah yang selalu ada buat Galih! Dia yang selalu nasehatin Galih. Padahal ... itu tugas Ayah dan ibu, 'kan? Tapi apa? Sejak kecil Galih selalu sendiri, waktu acara anak dan orang tua di sekolah aja ngga pernah ada yang datang ...." Mata Galih sudah berkaca-kaca ketika mengatakan kalimat tersebut.

𝐇𝐄𝐀𝐓𝐇𝐄𝐑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang