Namaku Jeslyn Irish. Ayahku meninggal saat usiaku masih 12 tahun, dan Ibu baru saja meninggalkanku satu tahun yang lalu, tepat di hari kelulusan SMA. Hari itu aku menuntut keadilan Tuhan yang begitu kejam merebutnya dari gadis belia sepertiku.
Sudah satu tahun aku menggambil gap year sebelum sebuah perusahaan swasta mengumumkan namaku di tempat pertama sebagai penerima beasiswa prestasi.
Aku telah hidup dengan kesedihan, uang pensiunan Ayah tentu akan berada di masa tidak cukup, apalagi untuk kuliah. Menyadari itu aku sangat mengusahakan supaya beasiswa yang aku pegang tidak hangus begitu saja. Apalagi aku sudah susah payah mengejar kampus impianku. Siang malam aku sudah mengerahkan tenaga mempelajari buku-buku gila hanya demi ujian kilat.
"Gimana coba bisa sampe sana? "
Aku sudah menilik rekening, uangnya cukup untuk naik bis ke sana tapi tidak dengan tujuannya. Tanggungan beasiswa hanya mengcover uang UKT, bila aku menyewa kos dengan apa aku harus menutupi pembengkakan keuangan? Daun?
"Aku beneran sendiri di dunia ini?"
Kalau masalah keluarga Ayah, aku harus menelan kenyataan pahit. Almarhum berasal dari pulau lain, bahkan sejak menikah awalnya pernikahan Ayah dan Ibu tidak direstui karena bibit, bebet, dan bobot Ayah tidak jelas. Jadi, tolong jangan tanyakan keluarga Ayahku.
Sepanjang hidupnya, beliau tidak pernah menceritakan tentang pulau nan jauh di sana. Ayah hanya bercerita dari sana, tidak lebih. Ayah juga tidak pernah menyindir orang tuanya yang ingin bertemu dengan cucu kecilnya dulu, padahal keluarga Ibu selalu begitu. Nyaris setiap Minggu aku dipaksa berkunjung hanya untuk membiarkan mereka berdua mencubiti pipiku dan mendandaniku seperti badut setiap sore.
Aku tersenyum kecut mengingat kenangan itu. Seberapa tidak jelasnya asal-usul keluarganya aku tetap bahagia pernah bertemu dan memiliki mereka.
Aku mengelus figura kecil di meja kecilku. Fotoku dan Ibu, saat aku menang lomba debat bahasa Indonesia. Merindukan dia yang sudah tak akan kembali lebih sakit dari pada menyadari bahwa kita tidak bisa bersatu dengan idola kita di dunia ini.
Sebelum meninggal, Ibu berpesan padaku agar aku tetap berkuliah. Aku menangis sejadi-jadinya karena sebelum itu aku dan Ibu terlibat dalam satu perdebatan. Ibu bilang aku tak harus kuliah dan bekerja saja, tapi aku tetap ngotot dengan cita-citaku sebagai hakim. Aku tak pernah menyangka di ujung mautnya, saat aku tau Ibu melihat malaikat pencabut nyawa yang menunggunya--bisa berubah pikiran.
"Walau berat, aku bakal tetep melanjutkan hidup bu. Jangan khawatir."
Ternyata nomor itu masih aktif. Seorang perempuan bernama Sarah diduga masih memiliki kekerabatan dengan Ibuku. Aku senang sekaligus khawatir. Aku khawatir ditipu sekaligus takut akan duniaku yang baru. Seseorang bernama Sarah menyuruhku datang ke rumahnya, iya di Ibu kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Brother : VSOO [END]
FanfictionKeharusan mendatangi ibu kota dengan keadaan sebatang kara membuatnya mengahadapi ketidakmungkinan kedua. Perjuangan mencari garis keluarga yang tersisa ia geluti sampai garis itu berhenti pada adik tiri ibunya, bernama Sarah yang tinggal di sekitar...