1.1

10 1 0
                                    

Ada rasa yang tertahan dan perlahan padam bersama senja di ujung semesta. Gedung pencakar langit ibukota sudah mulai menyalakan lampu cantiknya. Sedangkan ada yang pulang dengan wajah membiru membekali perasaan amarah dan sia-sia di kepala.

Semestinya semesta tidak boleh berpusat denganmu saja. Sudahi perasaan sakit sampai sini. Biarkan ada yang mendadak lenyap di telan jarak, jauh antara Amerika dan Indonesia, menaungi memori yang sepantasnya selesai dari jauh hari.

Harusnya kamu tidak mencoba menerobos masuk, tidak perlu terus menerus mengetuk pintu, karena pemilik rumah sudah enggan menjadikanmu penghuni di tempat ini lagi. Iya, aku mengusir.

Biarkan luka ini mengering, biarkan patahku tergeletak di dinding sampai dimakan rayap. tepis semua perasaan bersalah. Aku tidak keberatan jika harus menyerah, toh, selama ini aku sudah susah susah sampai berdarah. Biarkan kenangan kita mengepul bersama asap yang dihasilkan dari pemantik dan batang rokok juga ikut menguap. Anggap permintaan maafmu sudah aku terima dan pergi seberapa jauh yang kamu bisa.

Aku membentang palang panjang di antara kita. Lupakan soal rumah, perpustakaan, pohon apel, gitar dan perasaan berdebar ingin meledak seperti percikan api. Lalu waktu kamu mengejar sampai trotoar simpang jalan, aku sempat menunjuk lampu lalu lintas bertepatan warna merah yang menyala selama enam puluh detik. Patutnya kamu sadar, bukan malah keras kepala dan pura-pura tolol sambil tersenyum gamblang.

Sesulit itukah untuk menyelesaikan apa yang semestinya berakhir?

Aku benci penjelasan panjang lebar bahkan satu atau dua kosakata saja sudah muak. Kesempatan kedua atau bersama dengan orang yang sama juga menjadi hal yang tidak mungkin aku terima, barang membayangkannya saja sudah sesak.

Argaksa Bhataramana. Satu nama yang aku benci kehadirannya ada, lagi.

LostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang