Langit tengah bersedih atas bumi yang sedang berduka. Wanita tua itu duduk berlutut di hadapan peti kayu; menangis dan menjerit histeris. Sementara wanita lain dengan perut buncit sudah jatuh pingsan untuk kedua kalinya. Tidak ada yang diperkenankan melihat isi di dalam peti tersebut selain Raja dan Permaisuri.
Kondisi jasad dikabarkan tidak sempurna. Tubuhnya hangus terbakar dengan kulit melepuh, nyaris tidak bisa dikenali kecuali menemukan papan hopae yang terselip di balik sisa kain yang menghitam. Berbeda dengan tanda pengenal pada umumnya yang terbuat dari papan kayu, hopae milik Paduka Raja dan Putra Mahkota terbuat dari logam mulia. Jadi, jika salah satunya masih berada di pinggang lelaki berjubah merah, maka tidak diragukan lagi siapa pemilik hopae yang tergeletak di dalam peti mati.
Lima puluh orang dieksekusi di lapangan terbuka; terdiri dari tiga orang jenderal, tujuh orang panglima perang dan sisanya pengawal biasa. Hukuman mati adalah harga yang harus dibayar. Tidak ada yang tahu tentang penyebab kebakaran tenda putra mahkota. Bahkan meskipun tetesan darah mereka diperas habis melalui siksa pengadilan, tidak seorang pun bercerita bagaimana kebakaran itu terjadi.
Tenda terbesar berdiri tegak di tengah dengan dikelilingi beberapa tenda yang berukuran lebih kecil. Sejumlah prajurit ditugaskan berjaga secara berkala dari waktu ke waktu. Hampir tidak ada celah bagi penyusup untuk membakar ujung kain sehingga besar kemungkinan jika api berasal dari dalam. Namun, ketika salah satu Jenderal berteriak dengan lantang bahwa itu mungkin saja tindakan bunuh diri, tidak ada dari komplotan mereka yang mendapat pengampunan. Mayat-mayat diseret cepat ke menuju tempat pembakaran, lalu dibuang begitu saja tanpa upacara pemakaman.
Sejak saat itu keanehan mulai terjadi di dalam tembok istana. Tepatnya pada hari kesepuluh mengenang kepergian putra mahkota, para menteri duduk bersimpuh di aula kerajaan seperti orang kesetanan. Ada keheningan sejenak, sebelum pecah menjadi keributan yang serentak dalam satu suara. “Yang Mulia...”
“Kami baru akan pergi setelah Yang Mulia membuat keputusan hari ini.”
“Kita harus segera menentukan pengganti Putra Mahkota.”
“Buatlah keputusan, Yang Mulia.”
Orang-orang terus meracau dengan nada mendesak atas dasar permohonan yang sejalan. Mengesampingkan kepentingan individu untuk sebuah tujuan yang sama.
Mencoba mengabaikan perasaan sedih di hatinya, Raja berkata, “siapa orang yang pantas menggantikannya?”
“Menurut hukum kerajaan, seharusnya takhta diturunkan kepada pewaris dari Putra Mahkota akan tetapi hal itu tidak dapat dipastikan sebelum diketahui jenis kelamin bayinya,” tutur pejabat penasihat kerajaan.
“Yang Mulia masih mempunyai sebelas pangeran. Bagaimana jika memilih salah satunya dengan cara taekhyeon?” usul Menteri Choi yang ingin mencalonkan cucunya; Pangeran Siwon.
Meskipun semua orang tahu adanya niat tersembunyi dari lelaki berambut putih itu namun separuh dari anggota pejabat merupakan orang-orang yang tunduk di bawah kekuasaan keluarga Choi. Jika ada yang berani menentang maka tidak lain berasal dari keluarga Jung.
“Mengapa taekhyeon? Sudah jelas Putra Mahkota memiliki seorang anak. Selain itu, kita juga mempunyai anak-anak dari Permaisuri.”
“Itu demi memilih seorang putra mahkota yang cerdas dan bijaksana tanpa peduli anak Ratu atau selir. Lagi pula ini adalah cara yang sama dengan yang digunakaan saat memilih Raja. Setelah Yang Mulia naik takhta, negara kita menjadi sangat makmur. Bukankah dengan begitu bisa dikatakan bahwa sistem taekhyeon sudah terbukti bagus?”
“Benar, Yang Mulia,” jawab mereka dengan suara terbanyak.
“Tidak, Yang Mulia. Wariskan takhta itu kepada pewaris sah keturunan Ratu dan buatlah legitimasi pada dinasti ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The crown has fallen
FanfictionPara pangeran di istana kerajaan mulai memperebutkan posisi putra mahkota ketika anak pertama dari permaisuri dinyatakan tewas.