“Berani sekali kamu mengirim putrimu yang sakit ke dalam istana,” gertak Ibu Suri kepada lelaki yang menundukkan kepala.
“Dia memang sakit jantung waktu masih kecil. Namun, hal itu sama sekali tidak mengganggu kehidupan sehari-harinya.”
“Tidak hanya itu, katanya putrimu selalu ditolak oleh para orang tua. Perempuan yang bahkan dihindari untuk dijadikan menantu dari golongan orang biasa mana mungkin pantas menjadi putri mahkota.”
“Sejak awal bukankah Ibu Suri sudah mengetahuinya? Meski begitu Ibu Suri memberikan nilai tertinggi saat pemilihan putri mahkota. Pada akhirnya Ibu Suri hendak menggunakan kelemahan itu untuk mengguncang kestabilan mental Putra Mahkota.”
Kening wanita yang lebih muda tampak berkerut dalam. Segala sesuatu mengenai permaisuri terlihat sangat menakutkan; ekspresi wajahnya, pertonton terbuka perasaan kesalnya, buku-buku jari tangan yang memutih dan nada suara berat yang bergetar akibat menahan emosi yang siap meledak.
“Aku sudah mengetahui reputasi Putri Miyoung di luar kerajaan. Kepribadiannya yang bebas menjadi penilaian buruk di mata orang tua. Namun, aku memberi nilai tinggi untuk hal itu. Kelak dia akan menjadi wanita nomor satu di kerajaan sehingga dia harus memiliki sikap tegas dengan pandangan luas. Ibu Suri tidak perlu khawatir. Itu hanya penyakit sepele yang tidak mengganggu kesehariannya. Aku akan bertanggung jawab penuh atas kesehatan Putri Mahkota.”
“Kamu ingin aku mengabaikannya? Jika dia mempunyai penyakit jantung maka janin yang dikandungnya akan lemah dan mudah keguguran. Bukankah itu sebuah masalah?” tantang Ibu Suri.
“Aku akan menjaganya dengan baik jadi jangan cemaskan soal itu.”
“Aku tidak bisa tinggal diam. Aku akan menyampaikan perihal ini kepada Paduka Raja agar Putri Miyoung diturunkan dari takhtanya.”
“Turun takhta?” Menteri Hwang terkejut mendengar nasib putrinya yang berada di ujung tanduk.
“Putra Mahkota adalah calon pemimpin kerajaan ini. Putri Mahkota yang tidak bisa memberikan keturunan yang sehat tidak pantas menjadi pasangannya.”
***
“Kelopak bunga-bunga berwarna cerah dan bercahaya. Mereka tampak seperti gelombang di bawah sinar bulan dihiasi butiran salju putih. Bunga dingin itu..”
Kata-kata indah itu tidak berlanjut dan tertutup bersama bunga mimpi di malam ini. Taeyeon menatap wajah perempuan yang tertidur lelap di balik selimut merah muda. Cantik, pikirnya. Konon kecantikan itu sudah diwariskan leluhur secara turun temurun, hanya saja pandangan lelaki itu dibutakan oleh politik kerajaan.
Kebiasaan Taeyeon membacakan cerita pengantar tidur dimulai sejak malam itu di mana mereka berbagi kesedihan yang sama. Dia bukan seorang penyair andal seperti adik bungsunya. Kata-kata manis tidak bersahabat dengan lidahnya yang kaku. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki Taeyeon berusaha mengobati kesedihan pasangannya.
Taeyeon merapikan ujung selimut secara perlahan; sedikit demi sedikit agar tidak menimbulkan suara berisik. Dia menandai halaman buku cerita yang dibaca dengan melipat bagian ujung kertas. Kemudian menyimpan buku itu bersama tumpukan buku lain di atas meja.
Ekor matanya melirik sekilas pada salah satu buku catatan di sana. Rasa ingin tahu mendorong Taeyeon mengangkat buku bersampul coklat tua itu. Dia membaca lembar demi lembar hingga sampai pada halaman terakhir buku.
Yang Mulai Putra Mahkota memang tak acuh dan dingin.
Dia menyukai semua jenis daging. Tidak, dia lebih suka makanan manis.
Dia yang paling penyayang dan hangat di antara saudaranya.
Melahirkan tujuh anak yang mirip dengan Putra Mahkota.
KAMU SEDANG MEMBACA
The crown has fallen
FanfictionPara pangeran di istana kerajaan mulai memperebutkan posisi putra mahkota ketika anak pertama dari permaisuri dinyatakan tewas.