[ 9 ] Pembunuhan

127 22 25
                                    

Matahari baru saja mengintip dari tempat persembunyian ketika dua orang petugas kerajaan berkeliling dengan membawa lentera. Setelah mengayunkan tongkat pada lempengan besi sebanyak tiga kali, salah satunya mengumumkan pergantian waktu menuju inshi (pukul tiga petang). Entah bagaimana suara gaduh itu tidak pernah mengusik telinga orang-orang di istana yang tidur tak bergerak bagaikan gelondongan kayu. Namun, wanita itu mencicit kecil saat langkah kaki mereka terdengar semakin dekat.

Tidak. Putri Sooyeon tidak terkejut oleh suara retakan yang memecah keheningan malam melainkan karena telapak tangan seseorang tengah membekap mulutnya dari belakang. Dia pasti mati, pikirnya.

Air matanya menetes membasahi jari-jari tangan yang menyeret tubuhnya untuk berjalan mundur. Setelah melewatkan dua kali waktu makan di hari sebelumnya, dia sadar tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Siapa pun orang tersebut akan mudah mematahkan lehernya di sudut ruang yang gelap.

“Jangan berteriak atau para penjaga akan menangkapmu,” kata lelaki berpakaian serba hitam.

Telapak tangan wanita itu mencengkeram ujung pakaian dengan sangat kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Demi arwah suaminya yang terus bersedih di dalam mimpi, gadis itu berpikir bahwa penyakit kegilaan telah tersebar luas dan tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Dia semakin menangis membayangkan bayi mungil yang belum sempat terlahir akan mati di tangan ayah kandungnya.

Dia harus mengatakan yang sebenarnya sebelum terlambat tetapi apakah lelaki itu akan percaya? Bagaimana jika dirinya dianggap tidak waras seperti desas-desus yang dibicarakan para dayang di istana. Tetapi dia tidak gila. Mereka yang gila. Mereka yang meletakkan jimat-jimat di bawah alas tidur; jimat kematian, jimat penggugur kandungan, jimat pengubah kelamin bayi laki-laki jadi perempuan. Dia mengubur benda terkutuk itu di belakang kuil agar para dewa mengurung kekuatan jahat di dalam tanah. Namun keesokan harinya, jimat serupa kembali muncul di tempat yang sama.

“Mereka sudah pergi.” Pangeran Taeyeon mengintip melalui celah dinding dan baru menjatuhkan tangannya setelah yakin tidak ada orang lain di sekitar mereka.

Putri Sooyeon nyaris tidak bisa menopang berat badannya sendiri akibat lutut yang terasa lemas. Untung saja tidak terjatuh. Pria yang berdiri di belakangnya bergerak  cepat sebelum tubuh bagian bawahnya membentur lantai. Putri Mahkota masih sadar, hanya tidak bertenaga.

“Maaf. Putri Sooyeon pasti terkejut.”

Dia tidak mengatakan sepatah kata pun sedangkan lelaki tersebut tidak keberatan dengan keheningan mereka. Sooyeon hanya menyandarkan kepala, mendengar degup berirama yang lambat dan teratur. Jauh berbeda dengan detak jantungnya yang berantakan.

“Kenapa ingin keluar dari istana?” tanya pemuda yang terus menjaga tubuhnya agar tidak roboh. Kakinya yang tertekuk sudah kesemutan sementara dadanya tetap menahan berat badan dari wanita hamil.

“Orang-orang berusaha membunuh anak ini.”

Rumor delusi telah sampai di telinganya sehingga Taeyeon memperhatikan pilihan kata yang keluar dari mulutnya. “Lebih aman jika tinggal di istana. Ada banyak pengawal yang berjaga.”

“Tapi jimat itu terus berdatangan.”

“Jimat?” tanya Taeyeon kebingungan.

“Mereka ingin mencelakai bayiku. Jika Pangeran Taeyeon tidak percaya dan mengira aku hanya bicara omong kosong seperti para dayang di istana, pergilah ke belakang kuil. Aku menguburnya di sana.”

Untuk sesaat Taeyeon menelan keraguan serta mengabaikan berita burung yang terus menjatuhkan nama Putri Mahkota. Dia harus mencari tahu sendiri kebenaran tersebut. Jika sampai benda sialan itu ditemukan terkubur di dalam tanah, dia bersumpah akan membalas perbuatan mereka beribu-ribu kali lebih tragis.

The crown has fallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang