[ 12 ] Pertemuan

98 23 15
                                    

Garis wajah yang menegang masih belum seutuhnya lenyap ketika sepatu robeknya terseret menyusuri keheningan malam. Setelah bersusah payah menyelamatkan diri di tepi jurang kematian, pemuda itu tak lagi peduli pada sapuan angin dingin yang menusuk hingga ke tulang belakang. Goresan halus pada telapak tangan, otot-otot kaku di sepanjang lengan atas serta persendian tulang yang hampir patah; semua akan terbayar saat menginjakkan kaki di tempat tujuan.

"Jadi, aku bisa tidur di sini?" kata Taeyeon bertindak sesuka hati melempar sepatu di halaman depan lalu membuka salah satu pintu kamar, mengacuhkan protes yang terlukis nyata pada wajah sang pemilik rumah.

"Tunggu.." balas Heechul menyaksikan punggung yang menghilang di balik pintu kayu yang berderit. "Pemuda itu sungguh sulit dipercaya," gumamnya menggeleng pelan.

Apa yang diharapkan dari bangunan tua di pelosok desa? Tidak ada. Ruangan itu berukuran jauh lebih kecil dibandingkan kamar tidur para pangeran di istana. Satu batang lilin yang hampir habis terbakar mampu menerangi setiap sudut ruangan yang gelap.

"Tidak kusangka kamu benar-benar telah mengabaikanku seperti tadi," celotehnya menatap tajam pada sosok lelaki yang meluruskan punggung menggunakan bantalan tipis sebagai alas tidur.

"Aku memikirkan untung dan ruginya jika menyelamatkan dirimu. Namun, rupanya tidak menyelamatkanmu bisa memberiku keuntungan," jawab pangeran muda itu tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.

"Aku hampir saja mati di sana dan kamu masih memikirkan hal seperti itu?"

"Bukankah kamu sendiri yang memilih untuk lompat ke jurang itu? Lalu, jika aku membantumu, artinya kamu melanggar peraturan taekhyeon. Seperti yang kita tahu, setiap peserta tidak diperbolehkan mendapat bantuan dari siapa pun."

"Orang yang terlalu perhitungan seperti dirimu diam-diam malah menumpang di atas keberhasilan orang lain. Aku telah membuktikan bahwa lelaki tua itu bisa melihat sehingga mendapat kesempatan selama tiga hari."

Kyungsoo terdiam seolah pita suaranya mengering dan menyusut, lalu tenggelam bersama harga diri yang tidak tahu malu. Mau mengatakan seribu macam alasan sekalipun tidak dapat mengubah fakta bahwa dia telah memanfaatkan situasi di sana untuk kepentingan pribadi.

"Mengapa lilinnya dimatikan?" serunya separuh berteriak dengan mata melebar.

"Aku harus tidur sebelum larut malam," kata Kyungsoo memiringkan tubuhnya dengan wajah menghadap ke dinding. Tidak sampai satu tarikan nafas, kelopak matanya kembali terbuka akibat udara dingin yang berputar-putar di sekitar telapak kakinya. Dia membalikkan badan dan melihat celah pintu yang terbuka.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Aku tidak pernah tidur sebelum tengah malam," balas Taeyeon duduk bersandar pada ambang pintu dengan membaca sebuah buku catatan.

"Dingin," ucap lelaki malang itu memeluk tubuhnya yang menggigil.

"Aku kepanasan," jawab Taeyeon datar.

"Kita memang tidak cocok." Kalimat akhir yang menutup perjalanan panjang kedua pangeran.

Ketika semburat warna jingga menghiasi gumpalan awan putih pada keesokan harinya, pagi mereka didedikasikan untuk mengawal perjalanan lelaki buta atau begitulah peran yang sedang dimainkan, mengayunkan tongkat menyusuri jalur setapak. Itu pasti bukan karena jenggot panjang yang tumbuh menutupi dagunya yang membuat orang-orang tanpa ragu membungkukkan badan menghormati kedatangan lelaki tua tersebut. Taeyeon tidak habis pikir jenis kebaikan apa yang telah dilakukan hingga membuat sosok Kim Heechul begitu diagungkan.

Tidak ada pekerjaan tetap yang dilakukan di sepanjang tahun. Semua tergantung dari cuaca dan pergantian musim. Seperti saat sekarang ini, para penduduk desa berbondong-bondong mendatangi pesisir pantai untuk mengumpulkan kerang. Dengan berbekal alat penggaruk besi di sebelah tangan dan keranjang kecil sebagai tempat penampungan, mereka mulai menggali hamparan pasir basah yang tersapu oleh gulungan air laut.

The crown has fallenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang