Hai, kembali bertemu lagi. Gimna, sehat?
Vote dan komennya, dong. Please, jangan jadi pembaca gelap🥺
=^._.^= ∫
"Kuusahakan untuk melupakanmu, walau semakin ingin dilupakan malah semakin teringat."
ᕦ( ͡° ͜ʖ ͡°)ᕤ 1036kata
"Jangan lupa bawa pasangan ke pesta pernikahanku, ya, Kak." Adnan membaca pesan yang dikirim Tisya pada media sosialnya. Lelaki tampan dengan rahang tegas itu menghela napas. "Berat banget sih, lupain kamu. Padahal dari lama aku tahu hatimu bukan untukku."
Adnan melirik laptop yang masih menyala di depannya. Ia baru sebentar memeriksa laporan toko, tetapi kenapa rasanya sudah bosan? Seburuk itukah pengaruh patah hati?
Baru kali ini dirinya galau yang sangat teramat. Cinta yang kandas sebelum adanya hubungan ternyata sangatlah menyakitkan.
Ketukan pintu kamarnya membuat Adnan menoleh. Ia beranjak dan membuka pintu, melihat siapa yang datang membuat ia jengah. "Mau apa lagi?" tanyanya datar.
Perempuan itu mendengus. "Santai aja kali mukanya." Tasya bergumam. "Kata mami besok ada pesta?" Dengan keberanian di atas rata-rata perempuan itu menerobos masuk. "Dan lo diharuskan membawa pasangan, 'kan? Kasihan gue sama lo, udah terjebak friendzone, ditinggal nikah lagi."
Mendengar itu mata Adnan langsung melotot. Enak saja perempuan itu menghinanya. "Lah, dari pada lo? Undangan udah kesebar, eh, gagal nikah. Gimana tuh? Sakit nggak?" Dengan gaya angkuh Adnan membalas dengan pedas.
"Lo kayak anak hilang, deh. Balik sana, sumpek rumah gue kalo ada lo." Adnan memandang sinis perempuan yang mengaku sebagai anak Shafira dari beberapa tahun lalu.
"Lo mah nggak asik, bawa-bawa gagal nikah juga." Tasya mendudukkan dirinya di kursi kerja Adnan. Ia meneliti beberapa bagian. "Dih, ini tuh salah, lho! Typo."
Adnan mendekat dan menutup laptopnya. "Lancang banget, sih, lo? Heran gue. Ngapain lo ke kamar gue?" Adnan berujar dengan kesal.
"Disuruh mami turun, makan malam katanya. Kalo bukan karena mami, ogah gue ke kamar lo, berantakan, bau juga!" Tasya mengibaskan rambutnya dan berjalan keluar.
"Terus kenapa lo masuk, hah?!" Adnan berteriak dengan kuat. Dirinya kesal dan juga muak. Kenapa perempuan itu selalu mengesalkan. Belum ada satu hari mereka bertemu, sudah separah ini. Bagaimana dengan besok?
★★★
Perempuan bernama lengkap Tasya Anandini Rajendra adalah anak dari Rajendra dan Candani. Ia anak kedua dari tiga bersaudara, memiliki wajah khas orang Asia dengan tinggi 167 CM dan rambut sepinggang yang membuat cantik walau sederhana.
Tasya dilahirkan di Singapura dan dibesarkan di Indonesia. Beberapa tahun yang lalu dirinya bertemu Shafira dan sempat sangat akrab sebelum akhirnya orang tuanya membawanya kembali ke tanah kelahiran.
Tasya terbiasa bermanja dengan Shafira, ia menganggap jika perempuan itu benar-benar ibunya. Setelah ia pergi, dirinya sudah jarang bertukar kabar dan benar-benar tidak mengetahui tentang toko kue yang ternyata sudah diambil alih oleh Adnan.
Awalnya ia sangat terkejut akan fakta Shafira mempunyai anak, dengan kebaikan hatinya ia ingin berbaikan dan damai, tetapi lihatlah lelaki itu, membuat sangat kesal.
"Bagaimana dengan bisnis kulinermu, Tisya?" tanya Shafira sembari menata piring di meja.
Tisya yang sedang asyik mencicipi masakan Shafira yang ia rindukan hanya mengangguk dan mengangkat jempolnya. Ia meminum air putih sebelum menjawab. "Semua oke, Mi. Rencana aku mau buka cabang di Jakarta, gimana? Aku mau mulai dari awal di sini, Singapura sudah banyak membuat luka."
"Emangnya orang tua kamu bakal setuju? Mereka udah buat keputusan buat kembali ke Singapura, 'kan? Ini juga pasti kamu ke sini kabur, ya?" ujar Shafira dengan penuh perhatian.
"Mereka semua egois, Mi." Tasya menunduk dan cemberut. Tangannya mengaduk secara acak masakan yang masih berada di panci. "Aku udah disakitin gini, masa mereka nggak percaya? Mama juga kayaknya nurut aja apa yang dilakukan papa, nggak ada yang peduli."
Shafira mengusap pelan bahu Tasya. "Sayang, semua bisa dibicarakan baik-baik," ujarnya dengan senyum tulus.
"Nggak ada, mereka bilang aku cuma bisa buat papa malu dan juga rugi. Pernikahan ini sebenarnya buat aku atau perusahaan, sih?" Tasya mengembus napas kasar.
"Udah, sabar aja. Mami akan doakan yang terbaik. Jadi gimana? Mau nginep atau pulang ke apartemen kamu?" tanya Shafira.
"Pulang, Mi. Nggk bisa aku serumah sama orang nyebelin kayak anak Mami, tuh!" Tasya berseru sembari menujuk ke arah Adnan yang baru saja sampai.
Mata Adnan langsung melotot galak. "Gue baru dateng ya! Nggak usah nyari masalah."
"Siapa yang nyari masalah? Kasihan dia, nggak salah kok dicari." Tasya tertawa setelahnya.
"Heh, lo bocil!" Adnan mendekat bersiap untuk menjitak kepala Tasya.
"Mami!"
Ponsel milik Tasya berdering membuat atensi ketiga orang yang berada di dapur teralihkan. Sang pemilik ponsel hanya meringis pelan saat membaca nama yang tertera.
Ia berjalan menjauh dan mengangkat sambungan telepon. "Papa?" Tasya berujar lirih. Ia memejamkan mata saat mendengar amarah dari Rajendra. "Maaf, tapi keputusanku sudah bulat, Pa. Batalkan pernikahan, please, semua sudah sangat jelas."
Setelahnya Tasya memutuskan sambungan sepihak. Ia memejamkan mata sejenak sebelum kembali ke dapur menemui Shafira dan Adnan. "Aku pulang dulu ya, Mi?" Tasya mendekati Shafira.
"Lho? Kitakan belom makan, Sya?" jawab Shafira terkejut, sedangkan Adnan hanya melirik sejenak sebelum kembali fokus pada minuman kalengnya.
"Aku bisa delivery nanti, udah capek banget, Mi. Mau tidur." Tasya menjawab dengan kikuk. Ia menggaruk lehernya yang tak gatal.
Shafira menghela napas. Ia mengusap bahu Shafira dengan lembut. "Jangan sungkan untuk berbagi cerita pada mami, sekiranya berat, kamu boleh membaginya. Memang, bercerita tak membuat masalah selesai, tetapi setidaknya bisa membuat hati dan pikiran menjadi lega."
"Mami memang bukan orang yang melahirkanmu, tapi mami sudah menganggap kamu itu seperti anak sendiri. Jangan sungkan, jadilah seperti Tasya yang dulu mami kenal," ujar Shafira melanjutkan.
Tasya mengangguk dengan senyuman. "Aku pamit, Mi."
"Adnan, antar Tasya ke depan, ya?" Shafira berkata sembari menatap Adnan.
Lelaki itu mengangguk, ia membuntuti Tasya yang berjalan terlebih dahulu. Sayup Adnan dengar isak tangis tertahan dari perempuan yang ada di depannya. Langkahnya melebar dan menarik pelan tangan cantik milik Tasya.
Kini, mereka berhadapan, Adnan sedikit menunduk dikarenakan tingginya lebih dari Tasya. "Mau cerita?" tanya Adnan. "Untuk rasa itu, gue tahu kok. Tahu banget gimana rasanya ditinggal sama orang yang dicintai."
"Sakit itu pasti," lanjut Adnan.
Mereka berjalan dengan tangan yang masih bertautan, salah satu dari mereka pun tidak menyadari itu, disebabkan oleh larutnya percakapan mereka.
"Gagal nikah juga bukan dosa." Adnan berujar sembari membimbing Tasya masuk ke dalam mobil. Ia memasangkan sabuk pengaman dan tersenyum manis. "Bersedih boleh, tapi jangan sampai buat waktu lo terhenti hanya untuk menangisi orang yang salah."
"Terima kasih," ujar Tasya pelan. Sepertinya mereka berdua lupa akan hubungan mereka yang seharian ini selalu adu mulut.
Tasya melambaikan tangan sebelum mobilnya benar-benar menjauh dari perkarangan rumah Adnan.
Adnan mengacaukan rambutnya dan menarik napas dalam.
Gimna? Berkesan? Klo nggk, ngomong ya, kasih saran juga. Thanks buat kalian🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Jodoh (On-going)
Teen Fiction"Yang satu ditinggal nikah, satunya lagi gagal nikah, cocok kali ya?" Awalnya, Adnan dan Tasya tidaklah mengenal satu sama lain, tetapi sepertinya Tuhan memang tidak akan salah mengatur perihal jodoh. Mereka yang awalnya selalu bertengkar kini sal...